AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
Kamis, 03 Juni 2010
PARADIGMA MENGGIRING ARUS : Hery Hariyanto Azumi
Pendahuluan
Jika kita ingin membuat sebuah gerakan dengan tujuan progresif baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek sebagai strategi survival, maka kita harus mempunyai sebuah cara pandang yang mampu mengantarkan kita kepada tujuan tersebut. Sebut saja, misalnya, cara pandang tersebut sebagai paradigma, maka kita memerlukan sebuah paradigma gerakan yang tentunya berangkat dari kebutuhan kita sendiri, bukan gerakan “orang lain”.
Perdebatan paradigmatik tentunya telah lama terjadi di PMII, bukan saja semenjak periode kepemimpinan Sahabat A. Muhaimin Iskandar ketika kata “paradigma” mulai diperbincangkan di dalam lingkaran-lingkaran kecil (small groups) di kantong-kantong PMII seluruh Indonesia, tetapi juga telah dimulai, barangkali, sejak PMII sendiri berdiri, sekalipun kata paradigma belum digunakan.
Posisi-posisi yang telah diambil PMII selama hampir setengah abad usianya tentunya menggambarkan perdebatan paradigmatik ini, walaupun antara satu periode yang satu dengan periode yang lain hampir selalu tidak terjadi kesinambungan (continuity) yang mampu membuat aktivis-aktivis PMII “naik-kelas”. Jika suatu kepengurusan selesai, maka pengurus berikutnya harus memulai lagi dari nol. Sehingga, hampir dipastikan posisi-posisi yang diambil PMII adalah sekadar reaksi bukan aksi.
Belajar dari pengalaman historis yang penting inilah, PMII harus berhasil menjamin sebuah kontinuitas gerakan yang berbasis pada kenyataan bangsanya sendiri.
Mengapa Harus Dimulai dari Paradigma?
Sebuah gerakan yang rapi harus mengandaikan terbentuknya faktor-faktor produksi, distribusi dan wilayah perebutan (warring positions). Tanpa menggunakan logika ini, maka gerakan selalu akan terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian mati tanpa meninggalkan apa-apa selain kemasyhuran dan kebanggaan diri belaka.
Katakanlah kita sedang akan membangun sebuah gerakan, maka kita harus memahami di mana wilayah perebutan yang akan kita temui dan, oleh karena itu, apa yang harus kita produksi dan menggunakan jalur distribusi seperti apa agar produk-produk gerakan kita tidak disabotase di tengah jalan. Rangkaian produksi-distribusi-perebutan ini adalah sebuah mata rantai yang tidak boleh putus, karena putusnya salah satu mata rantai ini berarti matinya gerakan, atau setidak-tidaknya gerakan hanya akan menjadi tempat kader-kadernya berheroisme-ria. Dan yang lebih penting gerakan semacam ini akan dengan mudah diaborsi.
Nah, di mana paradigma menempati posisinya?
Yang pertama-tama perlu dikembangkan di PMII adalah bahwa sejarah itu berjalan dengan masa lalu, bukan semata-mata karena masa lalu itu ada, tetapi karena masa lalu telah membentuk hari ini dan hari esok. Artinya, capaian tertinggi dari sebuah gerakan adalah ketika satu generasi telah berhasil mengantar generasi berikutnya menaiki tangga yang lebih tinggi. Visi historis inilah yang akan menjadikan PMII sebagai organisasi besar yang berpandangan ke depan dan universal. Karena PMII tidak didirikan hanya untuk bertahan selama sepuluh atau duapuluh tahun. PMII didirikan untuk melakukan perubahan tata struktur dan sistem. Inilah cita PMII menurut penulis seharusnya.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi yang sangat vital dalam membangun gerakan PMII ke depan, bukan semata-mata karena kita membutuhkan paradigma, tetapi karena paradigma itu seharusnya memandu gerakan PMII dalam longue duree dalam bingkai sistem-dunia.
Selama ini, perdebatan paradigmatik di PMII hanya bersifat reaksioner, bukan sebuah inisiatif yang didasarkan pada gerak-maju yang terencana. Kondisi seperti inilah yang kemudian membatasi ruang lingkup gerakan PMII yang hanya melingkar di orbit internal NU dan tidak mampu melakukan pendudukan sektor-sektor strategis yang memiliki resonansi luas kepada publik.
Sejauh berkaitan dengan perubahan struktural yang dicitakan PMII, maka pendudukan sektor-sektor publik adalah suatu keniscayaan. Masalahnya, selama ini yang dipuja-puja oleh sebagian aktivis PMII adalah gerakan kultural an sich, yang mengabaikan segala sesuatu yang bersifat struktur. Katakanlah dikotomi gerakan “kultural” dengan gerakan “struktural” yang menjadikan PMII sebagai penjaga gerbang “kultural” sementara HMI, misalnya, sebagai pemain “struktural” telah menimbulkan kesesatan berfikir sedari awal tentang ‘gerakan yang dibayangkan/imagined movement’ oleh kader-kader PMII, bahwa PMII cukup hanya bergerak di LSM-LSM saja, tidak perlu berorientasi kekuasaan.
Jadi, paradigma merupakan suatu keniscayaan yang dibangun berdasar atas pandangan PMII tentang dunia (world-view) dalam realitas sistem dunia yang saat ini sedang berjalan. Apakah gerakan PMII selama ini telah berbasis pada kenyataan Indonesia dalam bingkai sistem dunia? Historisitas PMII lah yang akan menjawabnya.
Historisitas Gerakan PMII
Sebagai sebuah organisasi yang telah berusia hampir setengah abad, semestinya PMII telah mencapai periode kematangan. Didirikan pada 17 April 1960 sebagai bagian integral dari organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia, NU, PMII memang berfungsi sebagai sayap-mahasiswa NU di samping GP Ansor di sayap-pemuda, Fatayat di sayap-remaja putri, Muslimat di sayap-ibu-ibu, IPNU/IPPNU di sayap pelajar dan banom-banom lain, maka komitmen PMII kepada jam’iyyah NU adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Maka, keterlibatan PMII di masa-masa awal berdirinya sebagai penyokong Partai NU adalah sebuah keniscayaan.
Pada tahun 1974 ketika NU telah melakukan fusi politik dengan partai-partai Islam lain dalam PPP, maka Deklarasi Independensi di Murnajati Malang juga merupakan pilihan sejarah yang sangat penting. Dengan tegas PMII menyatakan independen dari NU karena PMII memang harus menegaskan visinya bukan sebagai bagian dari partai politik.
Demikian pula, Deklarasi Interdependensi pada dekade 1980-an, yang kembali menegaskan kesaling-tergantungan antara PMII-NU adalah bukti bahwa PMII tidak akan dapat meninggalkan komitmennya terhadap jam’iyyah NU.
Pilihan-pilihan dependensi-independensi-interdependensi ini sebenarnya tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Perdebatan-perdebatan selama tiga dekade awal PMII tampaknya hanya berkisar di sekitar pilihan-pilihan ini belaka. Ini berakibat pada terbengkalainya rancangan-rancangan ke-depan yang berada di luar batas-batas NU. Ini tentunya kontra-produktif terhadap PMII sebagai sebuah gerakan yang mengandaikan adanya perubahan sistem dan struktur dalam jangka panjang, karena tidak akan pernah dapat bergerak ke luar dari batas-batas kulturalnya. Ini yang penulis sebut sebagai jebakan primordialisme dalam gerakan, karena PMII tidak akan dapat pernah berperan sebagai agen transformasi ke dalam NU yang nyata-nyata adalah komunitas dari-mana ia lahir, alih-alih menjadi bagian dari kemapanan NU yang membekukan.
Dengan demikian komitmen PMII terhadap NU adalah komitmen yang mengambil bentuknya dalam class of struggle yang akan mengawal visi dan misi NU ke depan di samping transformasi internal tersebut.
Perdebatan yang lebih produktif baru muncul dekade 1990-an seiring dengan semakin luasnya pengaruh pemikiran KH. Abdurrahman Wahid di kalangan muda NU, terutama PMII. Figuritas Gus Dur sebagai tokoh demokrasi dan pengusung civil society yang critical terhadap pemerintahan rezim Suharto sangat berpengaruh dalam pembentukan pola-pikir aktivis-aktivis PMII.
Yang perlu dicatat adalah bahwa secara paradigmatik, kepengurusan Sahabat A. Muhaimin Iskandar pernah mensosialisasikan “paradigma arus-balik masyarakat pinggiran” yang implikasinya sangat luas terhadap pola gerakan PMII hampir di seluruh Indonesia. Dipandu oleh gagasan free market of ideas, periode ini menyaksikan sebuah massive enlightenment di tubuh PMII. Selama, setidak-tidaknya, paruh kedua dekade 1990-an PMII dengan gigih memperjuangkan demokrasi dan civil society sebagai nilai-nilai pembebasan. Dari masa inilah muncul optimisme baru tentang gairah gerakan di PMII.
Selama ini, kepengurusan di PMII dan organisasi-organisasi mahasiswa ekstra lainnya semisal HMI, IMM, PMKRI, GMNI, dan GMKI adalah sebagai batu loncatan untuk menduduki kursi-kursi di KNPI yang didukung oleh pemerintah. Nyata-nyatanya hanya organisasi-organisasi pro-pemerintah yang pada akhirnya mendapatkan kursi di KNPI dan selanjutnya kursi di DPR/MPR RI. Organisasi-organisasi kritis tidak akan mendapatkan tempat dalam kultur politik Orde Baru yang sangat nepotis. Artinya, antrian menuju kursi kekuasaan tidak akan pernah sampai kecuali dengan melalui strategi lain yang berada di luar mainstream. Dan PMII melakukan itu tatkala HMI yang menjadi rival utamanya selama ini justru sedang bermesraan dengan rezim Orde Baru melalui politik ijo royo-royo, di mana lebih dari 300 orang anggota MPR RI adalah alumni HMI.
Akhirnya, PMII bersama organ-organ mahasiswa Forum Cipayung minus HMI mendirikan sebuah forum bernama Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) sebagai bentuk keprihatinan atas mengentalnya politik aliran di Indonesia yang ditandai dengan semakin massifnya kelompok-kelompok yang tergabung di dalam ICMI mengusung bendera representasi Islam yang mayoritas di dalam kekuasaan. Dengan dukungan pemerintahan Suharto, ICMI melakukan ekspansi ke berbagai lini dengan mengusung isu Islamisasi, baik di sektor ekonomi dengan mendirikan Bank Muamalat, di media dengan mendirikan Republika yang diasumsikan sebagai koran Islam, maupun di permodalan dengan mendirikan BPR-BPR Syari’ah. Di sektor ekonomi, isu yang diusung adalah kemandirian ekonomi umat dan anti-China, sebagai kelompok yang dianggap menghancurkan ekonomi Indonesia.
Klimaks dari resistensi terhadap pemerintahan rezim Orde Baru adalah gerakan mahasiswa di penghujung dekade 1990-an, di mana PMII berdiri di barisan paling depan dalam menghancurkan rezim Orde Baru, sebagaimana NU juga berdiri di barisan paling depan dalam mengganyang PKI pada paruh kedua tahun 1960-an.
Dus, paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran yang dipandu oleh gagasan Free-Market of Ideas tersebut berhasil menciptakan kader-kader PMII yang kritis dan memiliki militansi gerakan yang memadai dan sikap yang terbuka. Keterbukaan itu ditandai dengan luasnya pergaulan aktivis-aktivis PMII dengan kelompok-kelompok minoritas yang selama ini selalu terkucilkan. Dengan bekal pemahaman teologis yang inklusif para kader mampu melampaui sekat-sekat agama yang selama ini dipelihara demi kelanggengan kekuasaan. Hampir di semua level, komunikasi (baca: silaturrahim) kader-kader PMII dengan kalangan Katolik, misalnya, berjalan dengan natural dan tidak dibuat-buat. Sampai sekarang pergaulan lintas agama ini telah jauh melampaui gagasan dialog agama atau konsep masyarakat multikultur yang didukung kuat oleh funding agencies. Jika orang-orang masih ramai berbicara tentang teologi inklusif melalui dialog-dialog formal, maka kader-kader PMII telah jauh berinteraksi dan secara timbal balik meresap di dalam keberagaman itu sendiri. Singkatnya, don’t teach me how to act inclusively since I am coming from such a society!
Namun, di luar keberhasilan paradigma Arus Balik dan FMI tersebut selalu ada yang terasa belum selesai dibangun di PMII. Indikasi yang paling jelas adalah ketika KH. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI yang keempat pada November 1999. Secara serta merta para aktivis PMII (dan NU dan juga aktivis-aktivis Civil Society pada umumnya) mengalami kebingungan apakah perjuangan civil society harus berakhir ketika Gus Dur yang selama ini menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society di Indonesia telah naik ke tampuk kekuasaan. Nampaknya, sikap para kader PMII terbelah dua pada saat itu. Ada yang menghendaki agar PMII tetap bergerak di jalur kultural dan ada pula yang menghendaki bahwa PMII harus membela Gus Dur. Dari sinilah kemudian mulai muncul dikotomi NU Kultural dan NU Struktural, yang secara otomatis juga terjadi di PMII. PMII Kultural dan PMII Struktural, yang kedua-keduanya tidak saling ketemu dan cenderung saling menyalahkan. Sampai sekarang, dikotomi itu masih sedikit terasa sekalipun telah kehilangan relevansinya semenjak Gus Dur dijatuhkan oleh sebuah konspirasi politik maha tinggi.
Artinya, paradigma Arus Balik telah patah di sini. Paradigma ini kemudian diganti dengan paradigma Kritis-Transformatif yang nalar penyusunannya tidak jauh berbeda dengan nalar penyusunan paradigma Arus Balik. Dengan kata lain, paradigma ini melanjutkan kegagapan PMII dalam bersinggungan dengan kekuasaan.
Setidak-tidaknya, ada tiga alasan untuk menjelaskan patahnya kedua paradigma ini. Pertama, keduanya didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa mengandaikan kompleksitas aktor di level nasional yang selalu terkait dengan perubahan di tingkat global dan siklus politik-ekonomi yang terjadi. Sebagai contoh, maraknya LSM pro-demokrasi dan gencarnya isu anti-militerisasi pada dekade 1990-an adalah akibat dari runtuhnya Uni Soviet (USSR) sebagai rival USA dalam kompetisi hegemoni dunia. Bagaimana ini terjadi?
Secara siklis dapat dijelaskan sebagai berikut. Suharto berhasil merebut tampuk kekuasaan dari Presiden Sukarno pada tahun 1966 melalui Super Semar dengan dukungan penuh dari politik luar negeri AS yang sedang gencar-gencarnya melakukan containment terhadap komunisme. Saat itu adalah sedang panas-panasnya persaingan antara Blok Barat yang kapitalis dan Blok Timur yang komunis. Posisi Indonesia demikian pentingnya pada waktu itu karena seandainya Indonesia jatuh ke tangan komunisme maka negara-negara yang berada di sebelah utara Indonesia seperti Malaysia, Thailand, Filipina dll. Secara otomatis akan jatuh. Maka, Indonesia harus dibebaskan dari hantu komunisme (le spectre de la communisme). Nah, Suharto adalah seorang jenderal tentara yang dapat menjalankan misi AS tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, komunisme jatuh pada tahun 1989 dan ini berakibat pada merosotnya dukungan AS kepada Suharto. Dengan kata lain, Suharto harus dijatuhkan. Dari saat inilah kemudian AS mulai mendorong demokratisasi di Indonesia melalui isu-isu HAM dan Civil Society melalui berbagai LSM yang didanai melalui funding agencies. Pada sisi lain, Suharto pun menjalin kekuatan dengan kelompok-kelompok Islam yang justru selama ini dimarjinalkannya. Puncaknya adalah berdirinya ICMI pada awal dekade 1990-an sebagai sayap politik baru Suharto pasca hilangnya dukungan AS kepada pemerintahannya. Dari sini, kemudian juga terjadi pembelahan: mereka yang bergerak dengan isu HAM dan Civil Society melawan rezim otoriter Suharto yang mulai didukung oleh organisasi-organisasi Islam politik di bawah payung ICMI. Dan PMII terlibat di sini di pihak pertama sebagai pengusung isu demokrasi dan civil society. Sebenarnya, jika para aktor politik Indonesia tidak terjebak pada peristiwa-peristiwa politik lokal dan mencoba sedikit melihat keluar, hampir dipastikan Suharto dapat dijatuhkan tanpa harus menunggu terlalu lama.
Kedua, kedua paradigma ini hanya menjadi bunyi-bunyian yang tidak pernah secara real menjadi habitus atau laku di PMII. Akibatnya, bentuk resistensi yang muncul adalah resistensi tanpa tujuan, yang penting melawan. Sehingga ketika perlawanan itu berhasil menjatuhkan Suharto terlepas ada aktor utama yang bermain, PMII dan organ-organ pro-demokrasi lainnya tidak tahu harus berbuat apa. Dari sini, dapat dibaca bahwa paradigma itu tidak disertai dengan semacam contingency plan yang dapat menyelamatkan organisasi dalam situasi apapun.
Ketiga, pilihan paradigma ini tidak didorong oleh strategi (not strategy-driven paradigm) sehingga paradigmanya dianggap sebagai suatu yang baku. Mustinya, ketika medan pertempurannya telah berganti, maka strateginya pun harus berbeda. Ketika medan pertempuran melawan otoritarianisme Orde Baru telah dikalahkan, PMII masih berfikir normatif dengan mempertahankan nalar paradigma lama. Ini membuktikan bahwa PMII tidak berfikir strategis.
Membangun Paradigma berbasis-kenyataan (reality-based paradigm)
Membangun paradigma gerakan memang sesulit membaca kenyataan yang semestinya menjadi pijakan paradigma itu. Gerakan manapun yang dibangun tidak di atas landasan kenyataan hanya akan menjadi korban sejarah atau, katakanlah, agen, tidak pernah menjadi struktur apalagi peradaban.
Paradigma yang baik adalah paradigma yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan kenyataan hari ini. Kenapa sejarah penting dalam penyusunan paradigma gerakan? Sebagaimana telah penulis ungkapkan pada awal tulisan ini bahwa sejarah itu menyimpan masa lalu yang telah menyusun masa kini dan masa depan. Jadi, dengan mengkombinasikan sejarah dengan real-life hari ini, kita akan mampu membaca kenyataan secara benar sehingga kita tidak akan terjebak dalam kenyataan mediatik yang manipulatif dan menyesatkan.
Dengan selalu berangkat dari kenyataan real, kita akan mampu menangkap struktur apa yang saat ini sedang bergerak dan gerakan yang kita jalankan akan mampu memutus roda-gila (free-wheel) peradaban yang hegemonik.
Selama ini, nalar mainstream yang digunakan dalam penyusunan paradigma di PMII adalah nalar yang berangkat dari asumsi teoritis yang belum tentu terkait dengan kenyataan yang sehari-hari terjadi. Jadi, konsep ideal (logos) itu dianggap lebih penting dan ideal dari pada kenyataan. Ambillah contoh, misalnya tentang paradigma arus balik dan paradigma kritis-transformatif. Nalar penyusunannya adalah civil society yang mengandaikan adanya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara. Ada beberapa kerancuan dalam paradigma ini, sebagian telah penulis kemukakan pada bagian historisitas gerakan di PMII. Pertama, secara praktis resistensi terhadap negara dewasa ini telah usang karena yang berkuasa bukan lagi negara tetapi berbagai MNCs dan TNCs yang telah berhasil menawan negara. Kedua, asumsi kemandirian yang dibayangkan di dalam konsep civil society tidak pernah terjadi dalam kenyataan. Artinya, lagi-lagi kita dibuat terjebak pada logosentrisme seolah-olah yang namanya CS adalah kita yang telah melawan negara tadi.
Sampai hari ini, nalar umum yang berlaku di dalam tubuh PMII adalah nalar resistensi ini. Sehingga ketika kita bertanya kepada kader-kader baru PMII di berbagai daerah kenapa anda masuk PMII. Jawabannya, karena PMII adalah gerakan perlawanan terhadap rezim otoriter. Jika disadari bahwa semua rezim sebenarnya adalah otoriter maka roda-gila perlawanan-rezim otoriter ini tidak pernah dapat diputus karena perlawanan yang terjadi bukan perlawanan dalam pengertian merebut struktur kekuasaan tetapi perlawanan menegakkan ‘kebenaran dan keadilan’. Post-resistence schenario-nya tidak pernah disusun sehingga selalu kelompok lain yang menunggangi perlawanan ini. Dan anehnya kader-kader PMII merasa bangga dengan pola semacam ini dan tidak pernah mau belajar dari kegagalan masa lalu.
Nah, paradigma berbasis-kenyataan (reality-based paradigm) akan membalik pendekatan ini.
Selama ini, nalar penyusunan gerakan di Indonesia setelah Tan Malaka lebih bersifat akademik. Artinya diawali dengan berbagai konsep ideal tentang masyarakat atau negara yang berasal dari Barat. Konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita semuanya berbau liberalisme, sehingga secara akademis tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus liberalisme. Semenjak dari pikiran, gerakan itu memang tidak akan pernah berhasil. Yang dibayangkan di sini, setiap konsep itu berlaku secara universal tanpa mempertimbangkan kenyataan yang menjadi setting aplikasi konsep tersebut.
Contoh yang sering dikemukakan tentang tidak nyambungnya antara konsep ideal-Barat dengan kenyataan Indonesia adalah konsep-konsep politik-ekonomi yang dibawa oleh para elit politik dan tokoh gerakan Indonesia semenjak kemerdekaan sampai sekarang ini. Pada awal-awal kemerdekaan isu “revolusi” menjadi semacam isu tunggal, dengan asumsi revolusi a-la Marx yang mengandaikan adanya pertentangan kelas-kelas sosial. Sukarno yang dengan gigih mengusung isu revolusi ini justru akhirnya gagal dan terguling dengan kekuasaannya. Demikian pula dengan isu “pembangunan” yang diusung oleh rezim Orde Baru, yang diasumsikan bahwa setelah mengikuti beberapa tahapan yang telah digariskan Indonesia akan dapat melakukan tinggal landas menjadi negara industri maju.
Konsep-konsep revolusi dan pembangunan yang di negeri asalnya berjalan dengan baik, justru tidak berjalan di Indonesia. Apa yang salah? Konsepnyakah yang memang mempunyai keterbatasan kontekstual ataukah memang kondisinya yang salah sehingga konsep-konsep ideal itu tidak dapat bersanding dengan kenyataan real yang setiap hari dijalani oleh masyarakat?
Atau, belum lama ini muncul gagasan tentang ekonomi kerakyatan yang bertujuan untuk memandirikan masyarakat Indonesia pribumi. Anehnya, isu kemudian malah menjadi praksis bukan lagi ekonomi kerakyatannya, tetapi isu anti-China yang selama ini dianggap menjadi biang kerok hancurnya ekonomi Indonesia. Isu ekonomi kerakyatan berubah menjadi isu rasial yang sangat merugikan Indonesia karena etnik China lah yang secara real memegang jalur-jalur distribusi ekonomi sampai level yang paling bawah. Jika isu anti-China yang diusung oleh beberapa gelintir elit pribumi yang dikompori oleh rezim hegemoni dunia tersebut menjadi kenyataan, maka yang paling dirugikan adalah masyarakat Indonesia sendiri.
Dari sini, kita melihat bahwa di kepala para elit kita sekalipun belum terbentuk satu cara pandang yang memadai dalam membaca kenyataan Indonesia dan kemudian mencoba menggunakan hasil bacaan tersebut sebagai pijakan untuk menjadikan Indonesia naik-kelas.
Dengan kata lain persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis-kenyataan di PMII itu paralel dengan kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan Indonesia. Sehingga, apabila PMII merintis sebuah paradigma semacam ini, sekalipun untuk sementara akan tersisih dari pergaulan mainstream, maka suatu hari nanti sejarah akan mencatat PMII sebagai gerakan sosial yang menjadi pelopor Indonesia baru yang benar-benar merdeka.
Memang, saat ini orang selalu berfikir instan dan hanya mau melihat hasil tanpa mau melihat bagaimana sebuah proses terjadi untuk mewujudkan utopia. Sehingga benturan pertama bagi sebuah paradigma untuk berjalan adalah dampak jangka-pendeknya. Atau dengan kata lain, problem survival menuntut kita untuk meninggalkan pikiran-pikiran panjang kita. Gerakan harus mampu berkayuh di antara gelombang panjang dan gelombang pendek agar gelombang panjang tetap terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita yang rapuh.
Bagaimanapun, untuk membangun gerakan kita harus mendahulukan realitas ketimbang logos.
Membaca Kenyataan Indonesia dalam World-System: modal awal gerakan
Selama ini kita membaca perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia semata-mata sebagai dinamika internal yang terputus dari perubahan-perubahan global. Setiap perbincangan yang mengarah kepada skenario global untuk perubahan di Indonesia dianggap sebagai pemikiran konspiratif yang tidak ilmiah, tidak jernih dan menimbulkan permusuhan di kalangan masyarakat. Versi resmi sejarah Indonesia, misalnya, tidak pernah berani mengungkap keterlibatan pihak-pihak asing dalam berbagai pergolakan di daerah selama dekade-dekade awal kemerdekaan. Pendek-kata, sejarah Indonesia adalah sejarah yang manipulatif karena tidak mengungkapkan fakta apa-adanya sehingga tidak saja banyak aktor-aktor sejarah yang dihilangkan tetapi juga peristiwa-peristiwa penting yang sebenarnya mengubah sejarah itu sendiri pun dihilangkan. Itu semua, kalau kita mau jujur, tidak dapat dilepaskan dari tekanan-tekanan internasional terhadap para elit politik kita pada masanya. Nah, bukankah dengan demikian secara de facto itu terjadi, sekalipun secara akademis kita tidak menemukannya dalam literatur-literatur sejarah?
Paragrap di atas hanya untuk menjelaskan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan perubahan-perubahan di Indonesia tanpa mengaitkannya dengan konteks global hanya akan menemui kegagalan. Gagal dalam pengertian bahwa kita hanya akan ikut menikmati keramaian pasar malam tapi kita tidak akan pernah mendapat apa-apa dari keramaian itu selain hanya menjadi penonton yang harus membayar harga tiket, padahal kita menonton di dalam gedung pertunjukan kita sendiri. Demikian pula, hingar-bingar politik-ekonomi yang terjadi selama ini sebenarnya lebih menjadi permainan orang-orang yang ada jauh di seberang sana sementara kita tidak mengetahui bahwa itu semata-mata sebuah permainan. Ambil contoh, misalnya, globalisasi dan free trade. Kita selama ini ikut terlibat dalam diskusi-diskusi tentang globalisasi dan free trade hanya untuk membenarkan masuknya modal-asing dan produk-asing ke dalam negeri Indonesia tanpa dikenakan aturan-aturan yang ketat. Itu semua karena kita tidak melihat panggung yang namanya Indonesia ini senyata-nyatanya sehingga kita selalu salah mengeja kata Indonesia itu sendiri.
Oleh karena itu, kita perlu melihat Indonesia di dalam gambar yang lebih besar lagi, yaitu dunia. Dengan melihat Indonesia sebagai bagian dari sebuah sistem dunia yang sedang berjalan kita dapat mengenali relasi apa yang sedang terjadi di dalam sebuah peristiwa. Dengan mengenali relasinya kita dapat melihat pola-pola yang digunakan oleh sistem tersebut untuk beroperasi. Katakanlah, kita perlu melihat dengan perspektif sistem dunia ini, lalu bagaimana kita menghubungkan perubahan-perubahan internal Indonesia dengan sistem dunia ini?
Adalah Immanuel Wallerstein dan teman-temannya di Fernand Braudel Center Binghamton University yang mencoba memperkenalkan perspektif sistem-dunia ini sebagai alat-baca. Dalam pandangan para world-systemizers, dunia ini terbagi ke dalam dua wilayah kerja (international divison of labor), yaitu core dan periphery. Dan di antara keduanya terdapat wilayah transisi (katakanlah, wilayah penyangga), yang disebut sebagai semi-periphery. Dilihat dari arus umum produksi-distribusi-wilayah perebutannya, maka negara-negara yang tergolong dalam kategori periphery adalah penyedia raw materials sekaligus sebagai pasar bagi produksi negara-negara yang disebut core tersebut.
Dalam praktiknya, saat ini kita melihat bagaimana negara-negara seperti AS dan sekutu-sekutunya berusaha melakukan akumulasi secara besar-besaran atas raw materials di negara-negara tertentu dengan dalih memerangi terorisme demi kelangsungan industri mereka. Sebagai contoh, misalnya, rencana serbuan ke Iraq sebenarnya tidak didasari atas potensi Iraq sebagai ancaman nuklir dan senjata biologis, tetapi lebih disebabkan oleh ambisi AS untuk menguasai kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah yang mempunyai cadangan minyak yang melimpah. Setelah Arab Saudi dan masalah Palestina (Palestina Question) sebagai pintu masuk bagi kehadiran militer AS di kawasan ini, maka satu per satu negara-negara minyak di kawasan Teluk akan jatuh ke dalam kendali AS.
Konflik Arab yang terjadi selama setengah abad terakhir memang dipelihara untuk memberikan legitimasi bagi kehadiran AS dan sekutu-sekutunya. Dari pendirian negara Israel sampai Perang Teluk, Penyerbuan Afghanistan dan, yang terakhir, rencana penyerbuan Iraq melibatkan aktor dan kepentingan yang kurang-lebih sama, yaitu penguasaan sumber-sumber energi terbesar dunia. Dilihat dari pernyataan Presiden AS Bush Jr. beberapa saat yang lalu tidak lama setelah penyerangan Gedung WTC di New York, 11 September 2001, pada saat serbuan ke Taliban Afghanistan sedang gencar-gencarnya bahwa ada poros kejahatan (axis of evil) yang harus dihancurkan karena mengancam keamanan manusia (human security), yaitu Korea Utara, Iraq dan Iran. Dua yang pertama, Korea Utara dan Iraq, sedang bersiap-siap untuk menghadapi serbuan AS dan sekutu-sekutunya. Kedua negara ini dituduh telah mengembangkan senjata pemusnah massal tanpa ijin. Sementara Iran tinggal menunggu gilirannya.
Artinya, yang lebih dominan bermain pada hakikanya bukanlah internal actors, tetapi aktor-aktor global yang berusaha mempertahankan sebuah pola pembagian kerja tertentu yang lebih menguntungkan pihak mereka sekalipun harus melakukan penindasan terhadap kelompok-kelompok lemah.
Ini adalah sebuah struktur sekaligus sistem-dunia, yang dapat ditangkap hanya melalui analisis siklus sistem dunia itu sendiri, tidak dari peristiwa tertentu saja.
Jika kita telah sepakat bahwa ada suatu international division of labor yang dipaksakan terhadap negara-negara di dunia, maka sebenarnya kita dapat membandingkannya dengan situasi zaman kolonial ketika penduduk negara-negara jajahan dipaksa untuk memproduk bahan-bahan tertentu demi kepentingan negara-negara penjajah. Hanya saja, pola baru ini menggunakan perangkat ilmiah yang canggih: ‘globalisasi’, ‘free-trade’, ‘privatisasi’ dan sebagainya. Dengan perangkat akademik yang canggih, negara-negara yang diperkosa justru tidak merasa sedang diperkosa. Dengan masokisnya, para elit negara-negara ini justru meminta diperkosa karena pemerkosaan itu mendatangkan kebahagiaan tertentu.
Dewasa ini, gerak maju struktur dan sistem global ini memang tidak terbendung lagi. Saat ini, hampir-hampir tidak ada jalan-keluar yang mungkin dari sistem pasar dunia yang terintegrasi. TINA, There Is No Alternative. Ini lah kemudian yang mengubah orientasi ideologi partai-partai berhaluan kiri seperti Partai Buruh Inggris dan Partai Demokrat AS menjadi penyeru kebijakan-kebijakan kanan. Dunia tengah digeser ke kanan, sehingga kebijakan-kebijakan negara yang pro-rakyat kecil semakin dikucilkan dari wacana publik. Semuanya diserahkan kepada pasar yang dalam kapasitasnya sebagai spontaneous order dapat mengatur dirinya melalui invisible hands.
Lalu, apa arti semua ini bagi Indonesia?
Mekanisme pasar sejauh membuka kesempatan kepada semua pihak untuk berinteraksi secara setara dapat diterima. Tetapi dalam sistem neoliberal seperti yang sekarang kita temui ini, dijumpai sebuah kondisi di mana prinsip kesetaraan tidak ada, atau terjadi interaksi yang asimetris. Prinsip perdagangan bebas yang dipandu dengan sistem monetarisme hampir-hampir tidak menyisakan ruang bagi ekonomi kecil untuk dapat survive. Para pemilik modal besar lah yang memiliki kesempatan emas untuk bermain dalam sistem ini.
Nah, Indonesia sekalipun baru akan masuk dalam perdagangan bebas dengan diresmikannya AFTA (persetujuan pasar bebas Asia), tetapi jika dianalisis lebih dalam Indonesia tidak akan dapat berbuat banyak di hadapan modal-modal asing raksasa. Kita dapat membayangkan bagaimana seandainya sektor-sektor ekonomi yang menguasai hajat-hidup orang banyak akan dikuasai oleh segelintir individu yang dengan leluasa akan dapat memainkannya untuk kepentingan pribadinya. Negara yang seharusnya mengabdi demi hajat hidup orang banyak telah dipreteli kekuasaannya oleh pasar, sehingga tidak lebih hanya akan bertindak sebagai agen pasar berhadapan dengan masyarakatnya sendiri.
Dengan agenda payung privatisasi, misalnya, kita telah dan akan melihat bagaimana banyak BUMN (SOEs) diprivatisasi demi memenuhi budget pemerintah yang telah mengalami defisit. Yang menarik adalah privatisasi itu terjadi atas desakan IMF, yang merupakan kepanjangan tangan negara-negara core dalam moneter dunia. Ini secara gamblang menjelaskan bagaimana pemerintah (baca:negara) tidak berdaya di hadapan sistem pasar yang telah mapan (neoliberalisme).
Yang sangat ironis, di tengah kencangnya gerak maju neoliberalisme justru tidak ada struktur lokal yang mampu menghadapinya. Struktur lokal telah terfragmentasi sedemikian rupa sehingga neoliberalisme dapat menjebol benteng Indonesia tanpa perlawanan sama sekali. Dalam hubungan antara negara, bangsa, pemerintah dan rakyat yang sama sekali tidak saling terkait kita menyaksikan bahwa Indonesia telah benar-benar terkunci dalam gerak sejarah. Jika hari ini adalah lima puluh tahun yang silam dan kita telah memiliki keawasan seperti hari ini, niscaya kita akan memilih jalan Mao Tse Tung atau jalan Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan negociated independence seperti yang telah kita alami. Seandainya kita memiliki kesempatan untuk berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan diri dalam interaksi global yang asimetris ini, maka politik isolasi mungkin adalah pilihannya. Resikonya adalah seperti apa yang telah dialami Cina (RRC), selama beberapa dekade sibuk berbenah diri, melakukan reformasi struktur internal dan kemudian dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemon dunia. Tentu, Cina memiliki berbagai kekhasan yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia, tetapi paling tidak ia merupakan gambaran bahwa There is (an) Alternative (TIA) selain blue-print AS yang harus diikuti negara-negara periphery.
Tetapi, yang namanya kesadaran memang selalu datang terlambat setelah segala sesuatunya telah lewat. Dan itulah struktur dunia, yang dapat kita lihat tatkala segala sesuatunya telah terlambat. Kita hanya mampu meratapinya di tengah-tengah ketidakberdayaan menghadapi tekanan struktur global. Struktur lokal kita telah lama pecah karena tekanan struktur global terlalu kuat. Tugas gerakan paling tidak adalah memompa kembali gelembung-gelembung struktur yang tersisa (jika masih ada), sembari menghambat daya tekan struktur global yang telah terlanjur masuk sampai ke halaman belakang (back-yard) rumah kita.
Paradigma Menggiring Arus: konsep dan operasinya
Akhir abad XX dan awal abad XXI ini telah menyaksikan maraknya gerakan anti-globalisasi yang telah mengharu-biru Seattle sampai Genoa dan sekarang mulai menyebar ke negara-negara dunia ketiga (baca: periphery). Gerakan ini bagi penulis adalah gerakan melawan arus, yaitu arus maju neoliberalisme.
Menurut penulis, gerakan seperti ini akan mengalami kegagalan dalam situasi seperti ini karena nalar anti-globalisasi sama dengan nalar globalisasi. Tidak ada ruang strategi yang tersisa dengan gerakan yang demikian frontal. Di negara-negara maju gerakan semacam ini dimungkinkan karena ditopang oleh kesadaran strategis yang mendalam, sementara di negara-negara periphery seperti Indonesia, gerakan ini berubah menjadi semacam konsorsium LSM, konsorsium LSM Anti-Globalisasi yang mengajukan diri untuk mendapatkan kucuran dari funding agencies sebagai kepanjangan tangan dari TNCs dan MNCs atau bahkan kepanjangan tangan langsung dari suatu pemerintah. Artinya, gerakan anti-globalisasi di Indonesia menjadi lelucon bahan tertawaan di siang hari.
Atau katakanlah gerakan itu benar-benar didasari oleh suatu keyakinan bahwa globalisasi telah membunuh ekonomi masyarakat kecil, tetapi karena gerakan itu tidak mempertaruhkan sebuah skenario pasca-perlawanan (skenario sukses), maka gerakan itu akan berubah bentuk menjadi heroisme individu-individu belaka, yang justru dimanfaatkan oleh para aktor politik untuk meraih keuntungan dari gerakan ini. Lantas, apakah gerakan yang tepat adalah gerakan pro-globalisasi tanpa reserve?
Saya kira, gerakan pro-globalisasi tanpa reserve berarti menghanyutkan diri dalam arus globalisasi tanpa pengetahuan yang cukup bagaimana harus menepi, karena sekali tersedot arus, maka akan sulit untuk kembali. Bentuknya yang paling kongkrit adalah menjadi agen kepentingan-kepentingan global baik pada aras wacana maupun pada aras operasi khusus mereka. Hanyut dalam arus neoliberalisme berarti menjadikan uang sebagai tanah air dan bangsa, karena ideologi pasar bebas tidak mengenal batas-batas teritori negara-bangsa. Yang dikenal adalah hambatan-hambatan tarif, proteksi, subsidi, nasionalisasi. Itulah batas-batas “negara-pasar” (market-state).
Gerakan yang berangkat dari kedua paradigma di atas, mengikuti arus dan melawan arus, akan mengalami kegagalan karena tidak mempertaruhkan sesuatu yang lebih besar dari pada proyek politik isu tunggal dan heroisme belaka. Atau gerakan ini memang tidak didesain untuk melakukan perubahan sistem dalam jangka panjang. Karena nalarnya yang mediatik (ukuran keberhasilannya diukur dari coverage media terhadap aksi-aksinya), maka sangat jelas bahwa orientasinya hanya bersifat jangka pendek. Gerakan-gerakan inilah yang didorong justru oleh struktur neoliberalisme karena gampang dipatahkan dan diaborsi.
Mari kita mencoba melihat nalar masing-masing gerakan ini. Gerakan Anti-Globalisasi (jika sungguh-sungguh) didominasi oleh nalar anti-asing (xenophobia), yang melihat setiap orang luar yang masuk ke dalam wilayahnya sebagai ancaman tanpa mencoba mengambil manfaat dari interaksi yang mungkin terjadi antara keduanya. Karena globalisasi berintikan pemain-pemain asing yang dilihat sebagai ancaman, maka untuk melawannya harus dengan gerakan anti-globalisasi. Gerakan ini menafikan interaksi dan komunikasi, pertukaran antara global structure dengan local structure. Nalar anti-asing ini bermanfaat jika secara strategis dapat digunakan untuk membangkitkan semangat dan kreatifitas internal berhadapan dengan global threat tadi. Tetapi dampak yang ditimbulkan oleh nalar semacam ini adalah isolasi diri dari pergaulan dunia, tanpa mencoba untuk belajar dari keberhasilan negara-negara lain, walaupun tidak harus mengikuti jalan mereka.
Sementara, nalar para pendukung buta globalisasi adalah nalar agent (baca: marsose) jika diletakkan dalam kondisi kerapuhan dan fragmentasi struktur lokal ini. Nalar ini bekerja sesuai dengan keinginan supplier dan produsennya, tidak mempunyai kesetiaan terhadap komunitas besar dari mana ia berasal dan menghanyutkan diri dalam hiruk-pikuk kepentingan sang juragan. Yang menarik, di level praxis gerakan anti-globalisasi akan dihadapkan dengan agen-agen ini. Jadi medan pertempuran kedua gerakan ini tetap di dalam kampung sendiri, sehingga ketika pertempuran usai hanya menyisakan puing-puing, sementara barang-barang berharga milik kampungnya telah dijarah oleh sang juragan.
Kedua model gerakan ini tidak memiliki contingency plan, karena memang tidak didesain untuk dapat survive. Ini dapat terlihat dari jalur-jalur produksi-distribusi-warring position yang tidak tepat. Atau dengan kata lain, nalar yang dipakai adalah nalar inlander dan heroisme LSM.
Lalu, gerakan seperti apa yang mampu menjamin terbangunnya jalur-jalur produksi-distribusi-warring position seperti yang kita diskusikan di awal tulisan ini?
Gerakan seharusnya ditujukan untuk kemajuan (progress) komunitas besar dari mana ia berasal. Kemajuan dalam pengertian “naik-kelas” dari komunitas yang tidak dapat berbuat apa-apa, menjadi bersuara dan didengar oleh orang lain. Tentu, naik kelas di sini berada pada level dunia. Kerja-kerja gerakan adalah kerja-kerja sistem dunia (baca: peradaban), sehingga para aktivis gerakan tidak terjebak dalam kenikmatan sesaat yang ditawarkan oleh sistem yang hendak diubahnya.
Dalam situasi dan kondisi yang penulis telah paparkan di muka, yaitu kuatnya penetrasi struktur global di atas fragmentasi struktur lokal, maka strategi gerakan yang paling dimungkinkan dan memiliki tingkat survival yang tinggi adalah gerakan yang mampu bermain di tengah-tengah tekanan ini. Dari sini, gerakan ini setidaknya melakukan perebutan (warring positions) di tiga front sekaligus: local front, global front, dan internal-movement front. Karena itu, strategi yang harus digunakan adalah multi-level strategies. Kita harus meninggalkan single strategy yang selama ini kita gunakan dengan dalih konsistensi gerakan. Jadi, bukan lagi anti-systemic movement a-la Wallerstein, bukan juga systemic movement, tetapi non-systemic movement. Kenapa bukan anti-sytemic movement, karena ini dapat terpeleset menjadi korban. Bukan systemic movement pun karena tidak ditujukan untuk memperkuat sistem yang berjalan. Tetapi non-systemic movement, berjalan di dalam sistem yang tengah beroperasi tetapi tidak bekerja untuk sistem tersebut sambil menciptakan conditions of possibilities untuk membangun sistem yang sama sekali berbeda. Ini terkait erat dengan strategi gerakan multi-level dalam front yang berbeda. Dengan demikian, ini meniscayakan multi-centers yang saling memahami posisi masing-masing. Dalam tataran tertentu, memang, diperlukan central-planner.
Nah, gerak di tiga front tersebut secara terpusat memerlukan kelenturan yang luar biasa. Ini terkait dengan energi di ketiga front. Pada suatu ketika struktur global diperlukan untuk menghapuskan local structural constraints yang membahayakan gerakan. Demikian pula, struktur lokal juga diperlukan untuk menghambat gerak maju struktur global tersebut. Di luar keduanya, front dalam-gerakan (internal movement) menempati posisi yang paling penting dalam kontinuitas gerakan membangun sistem karena front ini adalah home-base bagi kedua yang lain. Justru, semua energi yang diperoleh dari perebutan di front lokal dan global tersebut harus dipertaruhkan untuk memperkuat front ini. Di sini lah hidup-mati gerakan.
Demikianlah, kira-kira “konsep” paradigma menggiring arus yang non-sistemik.
Di tingkat operasional, paradigma ini dapat dimulai dengan hal-hal yang sangat sederhana. Untuk front global dapat dimulai dengan membangun sebuah pusat kajian untuk menemukan pintu masuk ke lapangan perebutan, seperti pusat kajian pasar bebas, pusat kajian Cina dan sebagainya. Sementara untuk front lokal, dapat dimulai dengan membangun kajian tentang kerja-sama antar pulau (insular cooperation) dan sebagainya untuk membangun jalur-jalur produksi dan distribusi di tingkat lokal yang memungkinkan terjadinya kecukupan di tingkat lokal (nasional) ketika jalur-jalur konvensional patah. Pada gilirannya front dalam-gerakan menyediakan mekanisme kaderisasi yang secara terus-menerus menyediakan para pemain untuk didistribusikan di semua front. Sebagai home-base, maka front ini harus totally secured. Secara akumulatif-sirkular, gerakan ini akan memperbesar ruang pengaruhnya (sphere of influence) sehingga berhasil membangun tata-peradaban yang baru.
Penutup
Paradigma menempati posisi yang sangat penting dalam gerakan sebagai pemandu-gerak. Diawali dengan pembacaan realitas masalah yang demikian kompleks, maka paradigma harus mencerminkan masalah sebenarnya yang tengah dihadapi oleh kita semua sebagai komunitas besar ‘bangsa’ Indonesia. Tanpa diawali dengan pembacaan semacam ini, perdebatan paradigma pasti akan terjebak ke dalam logosentrisme yang sia-sia.
PMII selama hampir 50 tahun usianya belum menjadi gerakan yang terstruktur dengan paradigma seperti ini. Sehingga, tidak pernah terjadi akumulasi yang dapat menghantarkan generasi berikut menuju tangga gerakan yang lebih tinggi. PMII tetap terkotak di dalam NU, tidak mampu bermain di luar dan kemudian melakukan transformasi internal di NU.
Nah, di tengah-tengah derasnya gelombang liberalisme pasar dan fragmentasi struktur lokal, maka PMII menghadapi setidaknya tiga front besar, yaitu: front lokal, front global, dan front dalam-gerakan. Karena itu, PMII harus membangun multi-levels strategies dalam gerakan yang multi-centers. Dengan kata lain, PMII harus memindah ruang gerakan. Hanya dengan strategi semacam ini PMII dapat survive untuk memenuhi misi-visi panjangnya, membangun peradaban.
Di sinilah, Paradigma Menggiring Arus menemukan konteksnya, agar PMII dapat naik-kelas sebagai ruling elite dan tidak terjebak dalam mainstream wacana yang menyesatkan. Semoga.
PELANTIKAN DAN RAPAT KERJA BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA (BEM) FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN UNIVERSITAS NUKU KOTA TIDORE KEPULAUAN 2010-2011
Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Nuku (BEM UNNU) akhirnya di lantik pada kamis(3/Juni 2010) setelah tertunda selama beberapa bulan. prosesi pelantikan yang di rencanakan akan di laksanakan pasca Musyawara tersebut harus di tunda selama beberapa saat dengan beberapa alasan teknis. Pelantikan pengurus ini di hadiri oleh seluruh peserta sebanyak 70 orang yang merupakan para undangan yang terdiri dari alumni dan mahasiswa fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Nuku.
Acara pelantikan Muhaamad Julham selaku ketua BEM di di mulai pukul 11.00 wit bertempat di aula Universitas Nuku.
"pelantikan ini mulanya di rencanakan untuk di laksanakan secepatnya agar program kerja bisa segera di realisasikan, namun berhubung ada beberapa kendala, maka baru hari ini prosesi pelantikan dapat di laksanakan" ujar Muhammad Julham yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Komisariat PMII Universitas Nuku usai pelantikan.
Dalam sambutannya sekaligus membuka acara pelantikan ini, Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Nuku Dsr. Abdul Kadir Kamaluddin Sp. Msi. menyatakan bahwa Majunya Sebuah fakultas bukan hanya upaya dari dosen maupun staf pengajar semata, tapi harus ada organisasi dalam fakultas itu sendiri yang mampu memajukan fakultas tersebut, diantaranya BEM, HMJ, maupun organisasi-organisasi lain dalam fakultas yang sesuai dengan basic keilmuan yang di emban. dan siapa saja yang menjadi ketua dalam organisasi intra kampus ini, yang terpenting adalah dia mampu menjalankan tugas dan fungsinya sesuai denga mekanisme maupun aturan yang berlaku.
"Saya melihat Fakultas Pertanian dan Kehutanan mempunyai potensi yang sangat baik ketimbang fakultas lain, karena fakultas ini merupakan fakultas dengan jumlah mahasiswa terbanyak. Disamping itu di setiap wisuda fakultas pertahut merorehkan prestasi yang luar biasa yakni selalu mendapat gelar lulusan terbaik". ujar dekan fapertahut dalam sambutannya.
selain itu, dekan fapertahut dalam sambutannya juga memesankan Kalau misalnya BEM itu baik maka otomatis proses transformasi ilmu di lingkungan fakultas juga baik.
"Saya harap BEM kali ini harus memiliki program-program tertentu yang dapat membangkitkan semangat mahasiswa untuk bisa berkreasi guna melahirkan intelek utamanya di bidang kehutanan agar kelak menjadi harapan bangsa, BEM kali ini harus krtis dalam segala hal sehingga dapat mengembangkan fakultas ini kearah yang lebih baik". Tambahnya.
dalam sambutannya, Muhammad Julham menyampaikan bahwa Ini adalah langkah awal untuk membangkitkan organisasi ini dala keterpurukan setelah fakum dalam periode-periode sebelumnya.
"Komitmen saya stelah dilantik menjadi ketua bem fapertahut adalah saya berusaha semaksimal mungkin untuk menjalankan roda organisasi sesuai dengan aturan yang berlaku. Saya melihat BEM beberapa periode yang lalu kinrjanya masih jauh dari keinginan kita semua, olehnya itu kerjasama dari rekan-reka pengurus maupun seluruh mahasiswa fakultas Pertahut sangat di harapkan guna memperlancar roda organisasi yang sama-sama kita cinmtai ini".
selain itu, selaku ketua BEM yang baru Muhammad Julham bertekad untuk mejadikan BEM Fapertahut Unnu sebagai kiblat dari Fakultas-fakultas lain yang ada di Universitas Nuku.
Acara pelantikan Muhaamad Julham selaku ketua BEM di di mulai pukul 11.00 wit bertempat di aula Universitas Nuku.
"pelantikan ini mulanya di rencanakan untuk di laksanakan secepatnya agar program kerja bisa segera di realisasikan, namun berhubung ada beberapa kendala, maka baru hari ini prosesi pelantikan dapat di laksanakan" ujar Muhammad Julham yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Komisariat PMII Universitas Nuku usai pelantikan.
Dalam sambutannya sekaligus membuka acara pelantikan ini, Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Nuku Dsr. Abdul Kadir Kamaluddin Sp. Msi. menyatakan bahwa Majunya Sebuah fakultas bukan hanya upaya dari dosen maupun staf pengajar semata, tapi harus ada organisasi dalam fakultas itu sendiri yang mampu memajukan fakultas tersebut, diantaranya BEM, HMJ, maupun organisasi-organisasi lain dalam fakultas yang sesuai dengan basic keilmuan yang di emban. dan siapa saja yang menjadi ketua dalam organisasi intra kampus ini, yang terpenting adalah dia mampu menjalankan tugas dan fungsinya sesuai denga mekanisme maupun aturan yang berlaku.
"Saya melihat Fakultas Pertanian dan Kehutanan mempunyai potensi yang sangat baik ketimbang fakultas lain, karena fakultas ini merupakan fakultas dengan jumlah mahasiswa terbanyak. Disamping itu di setiap wisuda fakultas pertahut merorehkan prestasi yang luar biasa yakni selalu mendapat gelar lulusan terbaik". ujar dekan fapertahut dalam sambutannya.
selain itu, dekan fapertahut dalam sambutannya juga memesankan Kalau misalnya BEM itu baik maka otomatis proses transformasi ilmu di lingkungan fakultas juga baik.
"Saya harap BEM kali ini harus memiliki program-program tertentu yang dapat membangkitkan semangat mahasiswa untuk bisa berkreasi guna melahirkan intelek utamanya di bidang kehutanan agar kelak menjadi harapan bangsa, BEM kali ini harus krtis dalam segala hal sehingga dapat mengembangkan fakultas ini kearah yang lebih baik". Tambahnya.
dalam sambutannya, Muhammad Julham menyampaikan bahwa Ini adalah langkah awal untuk membangkitkan organisasi ini dala keterpurukan setelah fakum dalam periode-periode sebelumnya.
"Komitmen saya stelah dilantik menjadi ketua bem fapertahut adalah saya berusaha semaksimal mungkin untuk menjalankan roda organisasi sesuai dengan aturan yang berlaku. Saya melihat BEM beberapa periode yang lalu kinrjanya masih jauh dari keinginan kita semua, olehnya itu kerjasama dari rekan-reka pengurus maupun seluruh mahasiswa fakultas Pertahut sangat di harapkan guna memperlancar roda organisasi yang sama-sama kita cinmtai ini".
selain itu, selaku ketua BEM yang baru Muhammad Julham bertekad untuk mejadikan BEM Fapertahut Unnu sebagai kiblat dari Fakultas-fakultas lain yang ada di Universitas Nuku.
Langganan:
Postingan (Atom)