AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

Senin, 20 Juni 2011

Aroma Bisnis Tanah Merebak, Indikasi Keterlibatan Pejabat Makin Pasti


SOFIFI- Keterlibatan sejumlah pejabat pemerintah Provinsi Maluku Utara dalam memanfaatkan proyek pembebasan lahan untuk memperkaya diri dengan menggunakan jasa makelar, hampir pasti terkuak. Sejumlah nama yang oleh pansus aset disebut sebagai makelar, pada setiap tahun proyek pembebasan lahan, nama mereka (Makelar) selalu mengisi daftar Biro Pemerintahan Setdaprov Malut sebagai pemilik tanah yang dibebaskan. Tanah-tanah mereka yang dibebaskan terhampar mulai dari Kusu sampai Rioribati.

Dua nama tersebut adalah RY dan MJ Warga Desa Balisosa-Barumadoe. Dari data rekapitulasi pembebasan dan pensertifikatan tanah pemerintah daerah yang dimilki Biro Pemerintahan keterlibatan mereka dalam dugaan melakoni kegiatan bisnis tanah yang anggarannya disupor dari sejumlah pejabat pemprov terhitung sejak tahun 2003 sampai 2010. Anehnya, kedua orang ini sepertinya telah tau, lokasi mana saja yang akan dibebaskan oleh pemerintah daerah. Sehingga ketika proyek pembebasan itu digulirkan. Lahan mereka-pun dijual, bahkan dalam setahun sampai tiga lokasi lahan mereka yang dibebaskan dengan nilai yang cukup fantastis.

RY misalnya, dari data yang dikantongi, dia menjual lahan pertama pada tahun 2003. pada pembayaran pertama tersebut lokasi lahannya berada di Desa Sofifi yang luas lahannya tidak disebutkan juga dengan harga tanahnya. Pada pembebasan ini, RY hanya mendapatkan pembebasan tanaman sebesar Rp. 14.480.825 yang dibayarkan pada tanggal 26 Juni 2003. Pada tahun yang sama, Biro Pemerintahan kembali membebaskan tanaman tanpa tanah milik RY di Desa Sofifi Rp. 2.176.000 yang dibayar pada tanggal 10 Juli 2003.

Ditahun 2004, RY kembali menjual lahannya di Desa Guraping dengan luas lahan 5,225 M2, RY mendapatkan pembayaran tanah plus tanaman mencapai Rp. 159.177.500 pada tanggal 1 Desember 2004. Ditahun 2005, nama RY kembali menghiasi daftar pembebasan lahan milik Biro Pemerintahan Provinsi Malut, kali ini, tanah yang RY jual berlokasi di Desa Somahode dengan luas lahan 8.272 M2 atau seharga Rp. 251.230.000 yang dia terima tanggal 32 Juli 2005. Kemudian pada tanggal 29 Oktober ditahun yang sama, lahan RY kembali dibebaskan seluas 1,304 M2 dengan harga Rp. Rp. 76.581.500.

Memasuki tahun 2006, satu nama lagi yang disebut-sebut oleh pansus aset DPRD Malut sebagai makelar tanah para pejabat, mulai beraksi. Dia adalah MJ, ditahun 2006, lahan pertama MJ yang dibebaskan seluas 15,065 M2 dengan nilai Rp. 455.667.000 yang dibayarkan pada tanggal 5 Juni 2006, lokasi lahan ini berada di Desa Sofifi. Ditahun yang sama, tercatat ada empat lahan lainnya milik MJ yang dibebaskan, yakni pada tanggal 31 Agustus 2006 lahan milik MJ di Desa Sofifi dengan luas 17,500 M2 dengan nilai Rp. 238.502.000, kemudian pada tanggal 20 Oktober 2006 dilakukan pembebasan lahan MJ sebanyak tiga tempat, yakni lahan seluas 3,303 M2 dengan nilai Rp. 77.158.750 yang tidak disebutkan lokasinya, lahan dengan luas 348 M2 dengan nilai Rp. 13. 020.000 di Desa Sofifi dan lahan seluas 5,000 M2 di Desa Akekolano dengan nilai Rp. 136.075.000. sementara untuk RY, ditahun 2006, hanya dua lokasi lahan miliknya yang dibebaskan, yakni tanggal 26 April 2006 dengan nilai Rp. 5.407.500 dengan luas lahan 302 M2 dan pada tanggal 20 Oktober 2006 seluas 1,501 M2 dengan nilai 21.449.250. kedua lahan ini berlokasi di Desa Guraping.

Ditahun 2007, lahan MJ dan RY juga masuk dalam daftar pembebasan lahan. RY tercatat dua kali lahannya dibebaskan, yakni pada tanggal 23 Maret seluas 13,980 M2 dengan nilai Rp. 442.500.000 dan yang kedua pada tanggal yang sama, perbedaannya, jika pada pembayaran pertama tertera luas lahan, pada yang kedua ini, luas lahan tidak diketahui, namun RY tetap mendapatkan pembayaran sebesar Rp. 17.260.000. kedua lahan RY ini berada di Desa Guraping. Sementara MJ tercatat hanya satu lahannya yang dibebaskan yakni pada tanggal 23 Maret. Lahannya itu terletak di Desa Sofifi dengan luasnya 10,700 M2. Lahan MJ tersebut dihargai senilai Rp. 365.123.000.

Pembebasan lahan terus dilakukan, pada tahun 2008, nama kedua orang ini kembali tercatat didalam daftar rekapitulasi pembebasan lahan. Yang luar biasanya, lahan milik RY yang tersebar di empat Desa masuk dalam peta pembebasan dan tercatat lahan diempat titik tersebut dilakukan pembayaran sebanyak delapan kali. Pertama pada tanggal 22 April 2008, lahan RY di Desa Galala dengan luas 1,987 M2 dibebaskan dengan nilai Rp. 94.391.500, berlanjut pada bulan juli, dua lokasi lahan RY di Desa Kusu masuk dalam peta pembebasan lahan, dimana tertanggal 17 Juli lahan RY seluas 3,981 M2 dibayarkan dengan nilai Rp. 163.649.000 dan pada tanggal 25 Juli RY menerima pembayaran sebesar Rp. 122.869.000 dengan luas lahan 2,090 M2.
Pada bulan september tahun 2008, tepat tanggal 6, lahan RY tanpa lokasi kembali dibebaskan, kali ini luasnya 14,029 dengan total anggaran Rp. 428.092.500. pada bulan November, tepat tanggal 10 dua lahan RY di Desa Guraping kembali dibebaskan, dua lahan dengan luas 24 M2 dihargai masing-masing Rp. 7.560.000. pembebasan lahan RY terjadi lagi pada bulan Desember tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 23, dua lahan pada tempat yang berbeda dibebaskan, yakni satu lahan dengan luas 2,715 di Desa Kusu dibebaskan dengan harga Rp. 106.602.500 dan satunya lagi Kaplingan (Patok) di Ternate dibebaskan dengan nilai Rp. 50.000.000. sementara MJ pada tahun 2008 tercatat hanya satu kali lahannya dibebaskan, yakni lahannya yang berada di Desa Balbar dengan luas 7,865 M2. Lahan yang dibayar pada tanggal 22 April tersebut tercatat dengan nilai Rp. 402.640.000.

Memasuki tahun 2009 dan 2010 ketika pembebasan tanah masih dilakukan oleh Biro Pemerintahan, dua nama ini kembali menghiasi daftar. Pada tahun 2009 misalnya, empat lokasi lahan milik RY kembali dibebaskan, tiga diantaranya berada di Desa Kusu dan satunya lagi berada di Desa Guraping. Tiga lahan di Desa Kusu, masing-masing dengan luas 12,712 M2, luasan ini dihargai sebesar Rp. 730.065.000, kemudian lahan dengan luas 6,108 M2 yang dihargai Rp. 295.440.000 dan lahan seluas 4,746 M2 dihargai dengan nilai Rp. 213.570.000. ketiga lahan ini dibebaskan bersamaan pada tanggal 17 April 2009. Kemudian lahan RY di Desa Guraping seluas 5,449 M2 dibebaskan pada tanggal 28 Oktober 2009 dengan nilai Rp. 245.205.000. sementara lahan milik MJ hanya tercatat satu kali pembebasan yakni pada tanggal 7 Agustus 2009 juga berlokasi di Desa Kusu dengan luas lahan 1.605 M2 dengan nilai pembayaran sebesar Rp. 145.060.000.

RY dan MJ masih terlalu tangguh, kedua nama ini belum bergeser dari daftar. Ditahun 2010, RY kembali mendulang keuntungan, tiga lahan miliknya masik dalam peta pembebasan, dua lahan berada di Desa Kusu dan satunya berada di Desa Balbar. Dua lahan di Desa Kusu, dibebaskan masing-masing pada tanggal 25 Februari dan 14 April 2010. Dimana, untuk bulan Februari, lahan RY yang dibebaskan adalah seluas 2,703 M2 dengan nilai Rp. 121.635.000 dan pada bulan April dengan luas lahan 5,100 M2 dengan nilai Rp. 367.563.500. dan lahannya di Desa Balbar, dibebaskan pada tanggal 27 Oktober dengan nilai Rp. 26.565.000 dengan luas lahan 759 M2. Sementara itu, MJ sendiri sepertinya tidak mau kalah, pada tahun 2010, dua lahan miliknya masuk dalam peta pembebasan, yakni pada tanggal 14 April dan 27 Oktober 2010. Dua lahan tersebut terletak di Desa Akekolano yang masing-masing lahan dengan luas 8.328 M2 dihargai Rp. 486.975.000 dan lahan seluas 2.912 M2 yang dibebaskan bulan oktober dengan nilai Rp. 134.910.000.

Praktis, sejak keterlibatan keduannya, jika RY sejak tahun 2003 sampai 2010, untuk proyek pembebasan lahan dirinya sudah mengantongi uang sejumlah Rp. 3.971.010.375. sementara untuk MJ yang meski baru terlibat pada tahun 2006, jika dihitung secara keseluruhan, keuntungannya dari lahan-lahan yang telah dibebaskan mencapai Rp. 2.855.273.250. lahan-lahan yang dimiliki kedua orang ini, tersebar dari Desa Kusu sampai Rioribati. Sebagaimana hasil On The Spot yang dilakukan oleh pansus pemekaran beberapa waktu lalu, sejumlah lahan yang dibebaskan oleh Biro Pemerintahan ini terkesan melompat-lompat. Bahkan pansus mensinyalir adanya keterlibatan sejumlah pejabat pemprov Malut sebagai mafia lahan. Bahkan, beberapa waktu lalu juga, pansus sempat merilis foto lahan milik para pejabat itu. Meski akhir-akhir ini pansus aset sulit ditemui, namun masyarakat berharap, pansus bisa mengungkap misteri pembebasan lahan dalam rumusan rekomendasinya ke pimpinan DPRD Malut nantinya.

“ Kita berharap, Pansus Aset dapat membongkar mafia lahan ini dan menyertakannya dalam point rekomendasi mereka nanti. Bahkan untuk membuktikan keseriusannya, pansus harus berani mendorong penggunaan hak angket. Karena sudah sangat jelas, ada keterlibatan para pejabat dalam proyek pembebasan lahan ini,” kata Amir Abdullah Koordinator Aliansi Organisasi se-Malut untuk masyarakat Korban Pembebasan lahan baru-baru ini.

Sekedar diketahui, sebelumnya, RY dalam pengakuannya pernah mengungkapkan nama salah satu pejabat di Pemprov Malut berinisial ICH telah membeli gunung. Bahkan, pengakuan yang sama juga disampaikan mantan Kepala Bidang Pertanahan dan Perbatasan Biro Pemerintahan Umum Setdaprov Malut, Miftah Bay. Bahwa, dirinya merasa bingung dengan pembelian gunung itu, namun oleh pejabat berinisial ICH, gunung tersebut kedepan nantinya akan berubah menjadi uang.

Dugaan keterlibatan sejumlah pejabat ini, jika benar terbukti, tentu telah bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Pasal 4 ayat 6 tentang larangan. Telah jelas disebutkan seorang PNS dilarang melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara. (amy)
 

Minggu, 19 Juni 2011

Terkait Dana Penyertaan Modal Petani Cengkeh Malut Halmahera Jaya Tuntut Tomy Soeharto

SOFIFI- Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Halmahera Jaya bertekad menuntut Badan Penyangga dan Perdagangan Cengkeh (BPPC) milik Tommy Soeharto putera mantan presiden RI ke-dua terkait dana penyertaan modal koperasi untuk petani cengkeh di Maluku Utara. Dana milyaran rupiah tersebut, sudah sepuluh tahun tidak kunjung diberikan.

Adam Mahrus, salah satu anggota Puskud Halmahera Jaya kepada Radar Halmahera kemarin mengatakan, pihaknya tengah menyiapkan kuasa hukum dengan menggunakan jasa salah satu lembaga hukum di Jakarta untuk mengadukan persoalan tersebut ke Pengadilan Jakarta Selatan. Dikatakannya, BPPC yang dipimpin Tomy sudah tidak lagi melakukan pengembalian uang simpanan milik anggota Koperasi yang dikumpulkan.

“ Dana ini sebenarnya sudah lama di BPPC, tapi lembaga (BPPC) ini sudah bubar, sementara uang petani cengkeh belum dikembaliakan. Karena itu kita (Halmahera Jaya) sebagai induk koperasi berupaya melakukan penuntutan ke Pengadilan Jakarta Selatan. Mungkin dengan cara ini mereka (BPPC) bisa memperhatikan,” katanya.

Dijelaskannya, besaran dana tersebut mencapai angka Rp. 12 Milyar yang berasal dari simpanan petani petani cengkeh melalui koperasi. Dimana para petani cengkeh saat menjual cengkehnya dibuka sebahagian untuk disimpan sebagai bentuk dana penyertaan modal kelak. Sayangnya, setelah sepuluh tahun belakangan, hak petani cengkeh Malut yang disetor ke BPPC tidak pernah dikembalikan.

“ Dana Penyertaan modal seluruh koperasi di maluku Utara sekitar Rp.12 M yang ada di Jakarta belum terbayar. Kemarin kita rapat, kita berupaya memperjuangkan dari aspek hukum agar dana tersebut bisa dipulangkan ke Malut. Karena itu hak masyarakat malut,” jelasnya.

Dijelaskannya, BPPC yang dipimpin Tomy Soeharto ini, sejak september 1993 sudah tidak kedengaran lagi gaungnya. Padahal, masih banyak hak koperasi didaerah yang belum dilunasi. Apalagi, terendus kabar bahwa BPPC telah mengoperkan tugas penyanggaan tersebut kepada Induk Koperasi Unit Desa Nasional dan Puskud. Namun untuk Maluku Utara sendiri tidak jelas keberadaannya.

“ Sudah sekitar sepuluh tahun lebih ini belum dibayarkan kepada kami di Malut. Jadi kita mau tuntut langsung ke pengadilan jakarta selatan. Ini sangat membantu ekonomi kerakyatan di malut,” terangnya. (amy)
 Sumber : http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1594279675890&set=o.118992731517593&type=1&ref=nf

Sabtu, 18 Juni 2011

17 M Untuk ‘Plesiran’ Tiga Pejabat Propinsi Maluku Utara


Fantastis

SOFIFI- Keluaranya ‘larangan’ Gubernur Maluku Utara, Thaib Armaiyn agar Sekertaris Daerah tidak sekedar mengeluarkan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) kepada seluruh pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tanpa ada bukti nyata perjalan dinas, dengan maksud efisiensi anggaran, ternyata tidak diikuti oleh yang mengeluarkan ‘fatwa’ sendiri. Gubernur beserta Wakil Gubernur dan Sekertaris Daerah ternyata punya alokasi anggaran perjalanan dinas yang cukup fantastis angkanya.

Hal ini terungkap dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Maluku Utara (Malut) tahun 2011. Dalam dokumen yang disembunyikan itu, anggaran perjalanan dinas ketiga pejabat tersebut senilai Rp.17.8 Miliar, yang dialokasikan dalam tiga program kegiatan.

Dalam program Rapat-rapat Koordinasi dan Konsultasi keluar daerah dengan kode rekening 1.20.1.20.03.01.18. Pemprov Malut menganggarkan dana sebesar Rp. 12,4 Miliar yang terdistribusi ke-dua item perjalanan dinas yakni perjalanan dinas dalam daerah dan perjalanan dinas luar daerah. Untuk perjalanan dinas dalam daerah dengan nomor rekening 1.20.1.20.03.01.18.5.2.2.15.01 dialokasikan sebesar Rp. Rp. 3,7 Miliar. ‘Jatah’ untuk Gubernur dari total anggaran tersebut adalah sebesar Rp. 1,7 Miliar per tahun. Belanja perjalanan dinas Wakil Gubernur dalam satu tahun anggaran sebesar Rp. 1,5 Miliar dan untuk sekertaris Daerah adalah sebesar Rp. 500 juta per tahun.

Item perjalanan dinas keluar daerah dalam program rapat -rapat Koordinasi dan Konsultasi keluar daerah. Pemprov mengalokasikan anggaran senilai Rp. 8,7 Miliar pertahun. Item perjalanan dinas dengan kode rekening 1.20.1.20.03.01.18.5.2.2.15.02 itu kemudian total anggarannya dibagi dengan tiga pejabat. Untuk Gubernur Thaib Armaiyn sebesar Rp.2,9 Miliar, Wakil Gubernur sebesar Rp. 1,7 Miliar dan Sekertaris Daerah sebesar Rp. 4 Miliar.

Tidak hanya itu, Gubernur dan Wakil Gubernur Malut kembali mendapatkan jatah perjalanan dinas baik dalam maupun luar daerah dalam dua program lainnya. Pada program peningkatan pelayanan kedinasan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dianggarkan sebesar Rp. 8,2 Miliar dengan kode rekening 1.20.1.20.03.16. dari total ini, sebesar Rp. 3,1 Miliar dialokasikan untuk item perjalanan dinas dengan kode rekening 1.20.1.20.03.16.05.5.2.2.15.
Untuk perjalanan dinas dalam daerah yang dialokasikan dengan kode rekening 1.20.1.20.03.16.05.5.2.2.15.01 senilai Rp.1,7 Miliar dengan perincian, Gubernur, Thaib Armaiyn mendapatkan alokasi sebesar Rp. 1,5 Miliar dan Wakil Gubernur, A.Ghani Kasuba sebesar Rp. 200 Juta. sementara untuk perjalanan dinas Keluar daerah dengan kode rekening 1.20.1.20.03.16.05.5.2.2.15.02 mendapat alokasi Rp. 1,3 miliar yang dalam perinciannya untuk Gubernur sebesar Rp. 1,1 Miliar dan wakil Gubernur sebesar Rp. 229 Juta.

Berikutnya pada program koordinasi dengan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah lainnya, yang untuk kegiatan perjalanan dinas kepala daerah dianggarkan sebesar Rp. 2,2 Miliar tanpa ada perincian, berapa besar untuk Gubernur dan Wakil Gubernur.

Dari tiga item program ini saja, secara keseluruhan anggaran untuk perjalanan dinas tiga pejabat Pemprov Malut dalam satu tahun telah mencapai angka belasan miliar ( Rp. 17 M). Tak tanggung-tanggung, masing-masing pejabat mem-benderol angka yang cukup fantastis. Lihat saja dalam program Rapat-rapat Koordinasi dan Konsultasi keluar daerah, Gubernur secara seseluruhan mendapat jatah sebesar Rp. 4,7 Miliar, di susul sekertaris Daerah (sekda) sebesar Rp. 4,5 Miliar dan sebagai juru kunci Wakil Gubernur mendapat sebesar Rp. 3, Miliar sehingga totalnya menjadi Rp. 12,4 Miliar.

Jika digabungkan dengan item program lainnya, yakni program peningkatan pelayanan kedinasan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Anggaran perjalanan dinas Gubernur Malut dalam setahun sangat fantastis karena mencapai angka Rp. 7,3 Miliar. sementara Wakil Gubernur mendapatkan jatah sebesar Rp. 3,6 Miliar. angka ini belum digabungkan dengan perjalanan dinas dalam program koordinasi dengan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah lainnya sebesar Rp. 2,2 Miliar karena tida ada perincian. (amy)
 

Ajak Rekanan Somasi Pemprov PU Sebut Tanggung Jawab Keuangan


Pembangunan Sofifi yang tidak beres sejak 11 tahun lalu

SOFIFI- Tertunggaknya sejumlah pembayaran pekerjaan proyek oleh pemerintah provinsi Maluku Utara kepada rekanan kembali membuat anggota DPRD Malut bereaksi. Rekanan diminta melayangkan Somasi kepada Pemprov Malut untuk mendapatkan haknya. Dinas PU dan Kimpraswil tidak mau ambil resiko, persoalan pembayaran pekerjaan adalah tanggungjawab Biro Keuangan Setdaprov Malut.

Anggota Komisi III DPRD Malut, Syachril Marasaoly kepada Radar Halmahera mengatakan, hingga saat ini, Pemprov masih menunggak hutang milyaran rupiah kepada pihak ketiga. Anehnya lagi menurut dia, dalam pembahasan anggaran tahun lalu, pemprov melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) terkesan menyembunyikan persoalan itu.

“ akhirnya apa, hutang tersebut tidak masuk dalam pembiayaan APBD tahun 2011 ini,” katanya.

Hutang Pemprov kepada pihak ketiga itu sendiri menurut dia, berkisar pada angka Rp.23 Milyar. Karena itu, Politisi Partai Bulan Bintang (PBB) Malut ini menyarankan kepada rekanan yang merasa dirugikan oleh Pemprov Malut untuk menempuh jalur hukum dengan cara melayangkan somasi agar pemprov Malut dapat memperhatikan dan melusai hak mereka.

“ Karena itu pihak ketiga yang dirugikan sebenarnya dapat melayangkan Somasi ke Pemprov. Kalau tidak salah hutang itu berkisar 23 Milyar,” ungkapnya.

Sementara terkait dengan persoalan hutang ini, Kepala Dinas PU dan Kimpraswil Malut, Suyono Prodjodimulyo mengatakan, pihaknya tidak bertanggungjawab terkait dengan persoalan hutang, persoalan tersebut menurut dia menjadi kewenangan biro keuangan Setdaprov Malut.

“ Kalau soal hutang itu prosesnya di keuangan, soal dia belum bayar ya tanggungjawab dia,” ujarnya.

Sebelumnya, terkait dengan persoalan hutang ini, Dinas PU dan Kimpraswil sempat menjadi bulan-bulanan anggota DPRD Malut. Bahkan, Gubernur Malut, Thaib Armayn didesak untuk menggantikan kepala dinas PU karena dinilai tidak mampudalam menjalankan kinerjanya. Terkait dengan persoalan itu, Suyono yang ditemui juga menjelaskan jika pihaknya hanya menangani persoalan tekhnis. Setelah proses pengerjaan selesai, pihaknya kemudian memproses laporan kepada pimpinan dan meminta dilakukan pembayaran terhadap pekerjaan tersebut.

“ Kalau kita inikan apa yang sudah dikerjakan dan telah selesai, maka kita akan memproses dan melaporkan. Kalau memang harus dibayar ya kita usulkan untuk dibayar. Soal tidak bayar atau apa alasannya, mungkin tidak ada anggaran atau apa, itu tanggungjawab mereka,” jelasnya.

Ditambahkannya, dirinya dalam bekerja tidak pernah melakukan penahanan pembayaran. Sementara untuk pekerjaan MY dan reguler lainnya yang terkesan tersendat-sendat pada tahun 2011 ini, Suyono mengatakan, jika saja Biro Keuangan tidak melakukan penahanan, semua pekerjaan sudah dapat dipastikan selesai.

“ Tapi hal inikan tidak seperti membalik tangan,” imbuhnya.

Sekedar diketahui, terkait dengan persoalan hutang kepada pihak ketiga ini, Ketua Komisi IV DPRD Malut, Amin Drakel beberapa bulan lalu mengatakan, masih terdapat hutang sekitar Rp. 6 Miliar kepada kontraktor pelaksana. Dimana hutang tersebut berasal dari proyek lanjutan Kantor Gubernur, Proyek Bundaran depan Gedung DPRD malut dan proyek timbunan di halaman samping kiri dan kanan Kantor DPRD Malut.

Terkait persoalan hutang ini sebelumnya juga laporan Panitia Khusus (Pansus) APBD DPRD Malut. Dalam laporan tersebut disebutkan, telah terjadi penggelembungan nilai hutang kepada pihak ketiga pada tahun 2009 sebesar Rp. 10.599.362.336.

Fakta yang terungkap dalam rapat kerja pansus disebutkan total nilai hutang adalam sebesar Rp. 62.906.725.946. nilai ini didasarkan pada selisih hasil perhitungan antara nilai pekerjaan fisik yang telah terealisasi sebesar Rp. 214.169.841.754 dengan realisasi pembayaran sebesar Rp. 151.263.115.808. anehnya, dalam neraca per 31 Desember 2009, Pemprov Malut mengakui adanya hutang kepada pihak ketiga sebesar Rp.73.506.088.282 berdasarkan atas selisih antara nilai yang dikontrakkan sebesar Rp. 224.769.204.090 dengan nilai realisasi pembayaran.

Penetapan nominal hutang ini ternyata pemerintah tidak memperhitungkan secara cermat realisasi fisik pekerjaan, dimana mengesampingkan pelaksanaan pekerjaan yang belum mencapai 100 persen. Ini tentunya, menyebabkan terjadi penggelembungan nilai hutang sebesar Rp. 10.599.362.336. (amy)
 

Perda MY Bakal Dicabut Suyono : Tekanan Politis Sangat Berpengaruh


Pembangunan Sofifi yang tidak beres sejak 11 tahun lalu

SOFIFI- Tersendatnya pekerjaan proyek Multi Years (MY) Pemerintah Provinsi Maluku Utara di Sofifi membuat unsur pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Malut menjadi gerah. Peraturan Daerah (Perda) tentang Multi Years pun terancam dicabut. Namun, instansi tekhnis menilai, tersendatnya pekerjaan proyek MY akibat kuatnya tekanan politik DPRD Malut.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua DPRD Malut, Jasman Abubakar saat dihubungi Radar Halmahera kemarin. Dikatannya, berdasarkan hasil kajian Komisi III DPRD Malut yang disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada unsur pimpinan DPRD Malut beberapa waktu lalu terkait dengan proyek MY secara tekhnis menyatakan bahwa pelaksanaan MY telah jauh keluar dari amanah Perda MY.

“ Jadi dalam rekomendasinya telah jelas membias dan menyimpang dari semangat dan amanah Perda MY itu sendiri,” katanya.

Dijelaskannya, penyimpangan yang dimaksud dalam rekomendasi tersebut adalah pelaksanaan proyek MY dari semangat perda. Dimana, dalam amanah perda tersebut, proyek MY dilakukan untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur di Kota Sofifi, namun pada kenyataannya proyek MY tidak memberikan konstribusi nyata dalam mendorong percepatan pembangunan infrastruktur.

“ Kita sudah menjamin APBD selama tiga tahun untuk MY dan pelaksanaannya (MY) itu dilakukan dalam dua tahun dan itu sudah harus selesai dilaksanakan, minimal tahun 2012 dimana satu tahun sebelum masa berakhir masa jabatan Gubernur Malut,” jelasnya.

Karena itu menurut dia, seharunya saat ini proyek MY sudah harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Namun hal tersebut sangat berbeda dengan kenyataan yang ada, dimana setelah memasuki pertengahan tahun pertama proses pengerjaan proyek MY belum juga nampak. Progres pekerjaan tidak ada sama sekali. Oleh karenanya, menurut dia, dalam rekomendasi itu, Komisi III berkesimpulan bahwa pekerjaan proyek MY tidak akan bisa mencapai target.

“ iya, kami optimis, karena kenapa, ini sudah memasuki tahun kedua dengan menyerap anggaran kurang lebih 600 Milyar tapi tidak nampak, bagaimana mau capai kalau tidak ada kerja. Nah oleh karena itu, sebaiknya, tidak usah dengan embel-embel MY tapi dengan reguler atau yang biasa saja,” ujarnya.

Ditambahkannya, dengan kondisi demikian, konsekuensinya adalah mencabut Perda proyek MY. Pasalnya, perda yang telah diputuskan dan mememiliki kepastian hukum untuk menyediakan anggaran dalam APBD. Namun jika setelah disediakan anggaran dan pekerjaan tidak kunjung dilakukan, maka apa gunanya mempertahankan aturan tersebut.

“ Nah kalau misalnya sudah disiapkan anggaran kemudian tidak dilaksanakan, apakah kemudian ini harus dipertahankan lagi,”ungkapnya.

Lalu bagaimana mensiati konsekuensi yang nantinya ditimbulkan jika Perda di cabut sementara anggaran proyek sudah digunakan??? Ditanya demikian, dia menjawab persoalan tersebut nantinya disiasati dengan melihat sejauh mana pekerjaan sudah dilakukan dan seberapa besar anggaran yang telah dikeluarkan. Bahkan menurut dia, beberapa waktu lalu telah dilakukan rapat pimpinan terkait dengan solusi penanganan proyek MY. Dalam pertemuan itu juga, unsur pimpinan DPRD Malut bersama dengan Komisi III berencana akan melakukan koordinasi dengan sejumlah lembaga diantaranya Departemen Pekerjaan Umum.

“ Terkait dengan persoalan ini juga Komisi III dan Pimpinan DPRD akan berkoordinasi dengan Depdagri, Departemen Keuangan dan BPK terkait dengan langkah-langkah yang nantinya diambil. Tapi yang jelas bahwa Perda MY ketika tidak dilaksanakan dengan baik sesuai dengan arahan Perda maka harus ditinjau,” ujarnya.

Sementara itu Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Kimpraswil, Suyono Prodjodimulyo yang ditemui mengatakan bahwa terkadang dalam pelaksanaan pekerjaan, tekanan bernuansa politis dari DPRD Malut, memberikan dampak besar dalam pelaksanaan proyek.

“ iya, tekanan politis yang kuat sangat berpengaruh,” akunya.

Terkait dengan pernyataan ini, Jasman kepada koran ini mengatakan, tekanan politis memang harus dilakukan. Pasalnya menurut dia, dalam pelaksanaan, secara kasat mata kemudian terdapat sejumlah persoalan, maka sangat tidak mungkin jika DPRD mendiamkan persoalan itu.

“ Kalau kita lihat kemudian tidak sesuai, apakah kita harus diam. Sementara tuntutannya harus seperti yang ada dalam Perda. Jadi kadis PU tidak boleh menggunakan pertimbangan bahwa kita hanya memandang dari sudut politis, bukan dari segi itu. Jadi penegasannya perda harus dicabut,” tandasnya. (amy)
 
Sumber : http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1591121476937&set=o.118992731517593&type=1&ref=nf

Desak Hadirkan HD Terkait Lahan Milik 19 KK di Galala


Pembangunan Kota Sofifi yang terlunta-lunta sejak 11 tahun lalu.
 
SOFIFI – Persoalan lahan milik 19 Kepala Keluarga (KK) di Desa Galala Kecamatan Oba Utara yang dirampas Pemerintah Provinsi Maluku Utara dalam proyek pelebaran jalan 40 semakin merembet. Aliansi Lima Organisasi se-Malut mendesak Pansus segera memanggil Mantan Bupati Halmahera Tengah (Halteng), Hasan Doa untuk memperjelas status kepemilikan lahan tersebut.

Hal ini disampaikan Koordinator Aliansi Lima Organisasi se-Malut , Amir Abdullah kepada Radar Halmahera di posko pengaduan pembebasan lahan malam kemarin. Dikatakannya, status lahan 19 KK yang saat ini telah digusur oleh Pemprov Malut masih terkatung-katung, meski mereka (19 KK) mengantongi bukti kepemilikan lahan yang didukung keputusan pengadilan negeri Soasio. Karena itu, untuk memberikan kepastian, Panitia Khusus (pansus) harus dapat memanggil mantan-mantan pejabat Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng) untuk dimintai keterangan terkait proses pembebasan lahan jalan 40 yang dilakukan oleh Pemkab Halteng, Include didalamnya lahan milik 19 KK tersebut.

“ Seharusnya pansus sudah bisa telusuri gugatan sembilan belas KK di desa galala itu. Karena ada kecurigaan keterlibatan oknum pejabat di halteng pada saat itu dan mereka bisa diminta keterangan. Baik itu mereka yang ada di bagian pemerintahan, asisten I maupun Sekda di Pemkab Halteng saat itu,” katanya.

Bahkan, menurut mereka, jika pansus benar-benar berkeinginan untuk menuntaskan persoalan lahan yang merupakan aset milik pemprov, pansus harusnya lebih jauh masuk kedalam untuk mendapatkan dukungan informasi. Karena itu menurut mereka, untuk memperjelas itu, Pansus harusnya memanggil Mantan Bupati Halteng, Hasan Doa untuk dimintai keterangan. Pasalnya, pembebasan lahan yang termasuk milik 19 KK dilakukan oleh Pemkab Halteng dimasa kepemimpinan Hasan Doa (HD).

“ Mantan Bupati Hasan Doa juga dimita keterangan soal pembebasan lahan jalan 40 menuju gereja, perumahan wakil gubernur dan ketua DPRD. Kalau memang benar-benar mau menuntaskan hal ini,” ujarnya.

Diungkapkannya, saat ini telah ada upaya-upaya yang dilakukan untuk menutupi gugatan 19 KK di Desa Galala untuk mendapatkan kembali haknya. Karena itu untuk mengembalikan hak 19 KK, Pansus harus berani memanggil orang-orang yeng berkompeten di Halteng pada masa itu untuk dimintai keterangan, termasuk dengan sejumlah staf pada bagian pemerintahan setdakab Halteng masa kepemimpinan Hasan Doa.

“ Panggil Mantan Bupati Halteng, karena persoalan lahan di Sofifi juga termasuk dengan 18 Ha sekian yang dibebaskan Halteng, dan sebahagian besar bermasalah. Kenapa itu tidak dilakukan oleh Pansus. Setidaknya ini akan menjadi dasar untuk penelusuran lebih lanjut,” ungkapnya.

Sementara terkait dengan pembebasan lahan yang sudah menjadi kewenangan Pemprov malut tahun 2001 sampai 2011, Pansus menurut dia, tidak semata menggunakan alasan pemprov Malut yakni ketiadaan peta lahan yang sudah dibebaskan. Jika pansus menggunakan alasan itu dan selalu menunggu, Aliansi Organisasi menurut dia kembali mencurigai adanya skenario besar yang sengaja dimanikan oleh Pansus dan Pemprov sendiri. Pasalnya menurut dia, dalam melakukan tugasnya, pansus secara otomatis sudah memiliki daftar lahan yang dibebaskan. Atau setidak-tidaknya menurut dia, nama-nama pemilik lahan yang sudah dibebaskan oleh Pemprov sudah dikantongi oleh pansus. Mengapa demikian, karena menurut dia, aliansi organisasi saja sudah mengantongi daftar pemilik lahan yang dibebaskan oleh Bagian Pemerintahan Sertdaprov malut.

“ kalau kita (aliansi ) saja bisa dapatkan daftar itu, kok pansus tidak punya. Inikan aneh, atau jangan-jangan pansus juga sengaja dan membiarkan adanya politisasi didalam proses pembebasan lahan disofifi,” tandasnya kemudian memperlihatkan daftar lahan tersebut kepada wartawan koran ini.

Dari daftar tersebut menurut dia, sudah tidak ada alasan lagi pemerintah provinsi beralasan tidak memiliki peta lahan. Pasalnya, dalam daftar itu juga, telah jelas, lokasi (letak) lahan yang dibebaskan, siapa pemilik lahan, luas lahan serta jumlah lahan yang dibesakan. Dengan daftar itu tentunya, peta lahan sudah dapat dibuat.

“ Ini keanehan berikutnya, Daftar lahan yang telah dibebaskan ada, tapi peta tidak ada. Malahan pansus juga kelihatan ikut-ikutan mengamini alasan tersebut,” imbuhnya.

Dijelaskannya pula, daftar yang dipegang oleh aliansi tersebut jika diteliti dengan baik, terlihat sejumlah kejanggalan. Dimana terdapat nama-nama ganda pemilik lahan yang telah dibayarkan oleh pemprov malut. Disamping nama pemilik yang sama, luas lahanpun sama. Selain persoalan itu, ada juga persoalan yang mengelitik kecurigaan adalah, adanya pembebasan tanaman tanpa lahan.

“ karena itu, jika pansus tidak melihat persoalan ini secara serius maka forum ini akan menyampaikan mosi tidak percaya terhadap DPRD Malut dan pansus terkait pembebasan lahan di daerah ini, kita akan mengkonsolidir kekuatan untuk melakukan presure (demo) agar pemerintah tahu, bahwa pembebasan lahan ada pengawasan dari luar,” tekadnya. (amy)
 

Peta Lahan = Dokumen Negara.... Komisi I Suport Sikap 19 KK

Anggota Komisi I DPRD Propinsi Maluku Utara

SOFIFI- Klaim kepemilikan hak atas tanah oleh 19 Kepala Keluarga (KK) di Desa Galala pada lahan yang digusur Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut) untuk pembuatan jalan 40 mendapat dukungan Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Malut. Warga diminta menyiapkan bukti fisik kepemilikan sebagaimana keputusan Pengadilan Negeri Soasio.

Reginal P.Tanalisan kepada Radar Halmahera kemarin di Kantor DPRD Malut mengatakan, sedari awal Komisi I sudah mencium aroma tidak sedap dalam proyek pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur penunjang pemerintahan di Sofifi. Kecurigaan semakin kuat setelah permintaan Komisi I terkait peta lahan yang sudah dibebaskan tidak diberikan oleh pemerintah provinsi.

“Memang dari awal kita sudah curiga banyak masalah dalam pembebasan lahan. Apalagi ketika kita melakukan tugas komisi, saat itu saya minta agar ada peta lahan serta pemisahan data pembebasan lahan pertahun agar mudah diketahui saja tidak diindahkan,” katanya.

Dijelaskannya, permintaan peta lahan oleh komisi I semata agar tidak terjadi tumpang tindih serta membuat lahan yang telah dibebaskan menjadi jelas. Ini juga dilakukan agar mempermudah Komisi I dalam melakukan pengawasan, sayangnya, apa yang dimintakan tidak pernah digubris. Karena itu, persoalan lahan di Sofifi terkatung hingga saat ini karena persoalan peta lahan.

“ Bagaimana kita tahu mana yang tumpang tindih kalau tidak ada peta,” jelasnya.

Karena itu, Politis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Malut ini mengatakan, meskipun pembebasan lahan adalah wilayah Komisi I, namun untuk menentukan langkah selanjutnya, Komisi I tengah menunggu rekomendasi dari Pansus Aset yang hingga saat ini masih belum menyampaikannya ke unsur pimpinan.

“sampai sekarang belum ada laporan. kita juga dalam menentukan sikap akan melihat arah dari rekomendasi pansus, apakah menggunakan kewenangan lainnya seperti angket, ataukah seprti apa, kita juga belum tahu,”ujarnya.

Sementara terkait dengan sikap 19 Kepala Keluarga (KK) di Desa Galala yang hingga saat ini tetap ngotot memperjuangakan sisa lahan milik mereka yang kini di gusur oleh Pemprov Malut untuk kegiatan pelebaran jalan 40. Reginal mendukung itu, menurut dia, Pemilik lahan juga harus menyiapkan seluruh bukti-bukti fisik kepemilikan lahan milik mereka sebagaimana yang telah diputuskan oleh pengadilan Negeri Soasio.

“ Makanya yang harus disiapkan adalah bukti-bukti dalam bentuk fisik seperti itu, keputusan pengadilan yang memiliki dasar hukum kuat,” tandasnya. (amy)

Kades Akui Pembebasan Lahan Bermasalah



SOFIFI- Setelah sebelumnya menandatangani pernyataan pembebasan lahan tidak bermasalah dengan alasan tidak ada satupun masyarakat mengeluhkan persoalan tersebut. Kepada Radar Halmahera, kemrin sejumlah kepala Desa se-Oba Utara mengaku ada yang tidak beres dalam proyek pembebasan lahan yang dilakukan oleh pemerintatah provinsi Maluku Utara.

Kepala Desa Akekolano, Abdullah Biji seusai mengikuti pertemuan dengan Pansus Aset di Kantor DPRD Malut kemarin menjelaskan, keberanian seluruh kepala desa se-Oba Utara menandatangani pernyataan pembebasan lahan tidak bermasalah, mereka berpatokan pada proyek pembebasan lahan tahun 2009 dan 2010. Dalam dua tahun itu, peoyek pembebasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Maluku Utara sudah melibatkan pemerintah Kota Tidore Kepulauan.

“ tapi sebelum itu pembebasan lahan amburadul, tidak ada koordinasi sama sekali. Jadi kerja ini asal-asalan,” katanya.

Diakuinya, selama ini, pembebasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Malut, dilakukan dengan sistem melompat-lompat. Dimana, dalam satu arela yang dibutuhkan, pemprov tidak melakukan pembebasan sekaligus, namun melakukan pembebasan secara bertahap. Kondisi itu menurut dia, nantinya akan membikin sakit kepala para kepala desa.

“ Saya bicara ini realita. Tapi saya tidak mengatakan ini mafia atau apa, yang jelas kerja ini tidak beres. Seharusnya, arahnya jelas, lahan mana yang kita butuhkan, kita butuh untuk apa. Kalau kita butuh yang itu, maka bebaskan yang itu. Jangan bebas sedikit di Akekolano, kemudian sedikit di Guraping dan sedikit-sedikit di desa-desa,” ujarnya.

Persoalan itu menurut dia, sebelumnya sudah dia keluhkan kepada panitia pembebasan lahan pemprov, dimana menurut dia, pemprov dalam melakukan pembebasan, maka dilakukan secara serentak. Pasalnya menurut dia, jika dalam satu lahan, pemprov melakukan pembebasan sedikit demi sedikit, maka bisa jadi lahan warga yang sisa karena belum dibebaskan tersebut akan digunakan kembali untuk kegiatan bercocok tanam. Biasanya menurut dia, dalam bercocok tanam, warga sering melakukan perluasan areal dan bisa jadi akan kembali melakukan penanaman diatas lahan yhang sudah dibebaskan.

“ Jadi kalau mau bebas lahan, bebaskan satu kali, jangan sepotong-sepotong,” katanya.

Di Desa Akekolano menurut dia, terdapat tiga proyek pembebasan lahan, pertama pembebasan lahan untuk hutan kota yang sebelumnya direncanakan membutuhkan arela seluas 15 Ha, namun dari luasan tersebut baru dibebaskan seluas 2,5 Ha pada tahun 2010, yang kedua lahan untuk perumahan anggota dan Ketua DPRD Malut yang direncanakan membutuhkan lahan seluas 4 Ha, namun hingga saat ini masih sebatas survey dan pengukuran, sementara pembebasan belum dilakukan.

“ Yang ketiga itu GOR, untuk pembebasan tahap pertama tahun 2003 sampai 2005 seluas 5 Ha sementara pada tahun 2006 sampai 2010 dibebaskan seluas 6,9 Ha dan sisanya hingga saat ini belum dibebaskan,” ungkapnya. (amy)
 

“ Tanah Kami Dirampas!!!” Pengakuan 19 Pemilik Lahan Di Desa Galala



SOFIFI- Proyek pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur pendukung pemerintahan di Sofifi seperti jalan 40 ternyata tidak untuk masyarakat. Proyek itu hanya melahirkan luka bagi para pemilik lahan, seperti yang dialami 19 Kepala Keluarga (KK) di Desa Galala Kecamatan Oba Utara saat ini. saat nmeninggalkan kampung (Galala) karena konflik horisontal, lahan mereka digusur tanpa koordinasi. Bayaranpun tidak sebanding dengan luas lahan yang dimiliki.

Kepada Radar Halmahera saat bertandang ke rumahnya, minggu malam kemarin, John Totoda, Mantan Kepala Dusun Galala menjelaskan kronologis penggusuran lahan milik 19 Kepala Keluarga (KK) tersebut. Dikatakannya, penggusuran itu bermula saat mereka berada di lokasi pengungsian, Manado, Sulawesi Tenggah saat konflik horisontal sebelas tahun silam.

“ Penggusuran itu dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah (saat masih pemerintahan masih di Tidore),” katanya.

Dijelaskannya, Pemkab Halteng mengutus seorang bernama Habibu (Alm.Habibu), yang juga adalah Anggota DPRD Halteng waktu itu untuk bertemu dengan para pemilik lahan di lokasi pengungsian. Dalam pertemuan tersebut, Habibu tidak membicarakan soal ganti rugi lahan melainkan sekedar membawa kabar bahwa lahan mereka (19 KK) di Galala sudah digusur oleh pemerintah untuk pembangunan jalan (saat ini jalan 40).

“Jadi dong (Habibu) kasana Cuma kase tau pa katorang bahwa tanah saudara-saudara sudah tergusur. Saat dengar kabar itu kitorang tidak bisa berbuat apa-apa. Mo bicara apa, tanah so dapa gusur no,” jelasnya.

Selain mengabari kondisi tanah tersebut, Habibu menurut John juga memberitahu perihal anggaran untuk pembayaran tanah. Saat itu dengan sedikit mengancam, Habibu kepada mereka mengatakan, jika anggaran sudah disediakan, jika warga pemilik lahan tidak mau menerima bayaran tersebut maka dengan sendirinya pemerintah tidak lagi melakukan pembayaran.

“ Dia (Habibu) juga bilang kalau anggarannya sudah ada, jadi kalau saudara-saudara tidak ambil berarti dianggap hangus, torang Cuma badiang saja dan kase biar dia tetap bicara. Tong mo bicara apa, sementara tanah ngoni so gusur,” imbuhnya

Meski sudah menyampaikan tentang ketersediaan anggaran, pada pertemuan itu Habibu belum lantas memberikan uang tersebut. Lalu pada pertemuan kedua, Pemkab Halteng mengutus salah satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Dinas Perkebunan berinisial Wan, datang membawa uang yang sudah dimasukan dalam amplop. Uang tersebut dibagikan kepada para pemilik lahan tanpa memberitahu tanah mereka dibayar berapa permeternya.

“ Yang datang kedua kali itu pegawai perkebunan, namanya Wan. Dia kasana bawa doi yang so memang isi di amplop, semua sudah diisi. Jadi samua yang dapa gusur dong so isi memang, tara kase tau satu meter berapa. Dong bilang, ini ngoni pe harga tanah,” ujarnya.

Diungkapkannya, lahan miliknya yang sudah digusur oleh Pemkab Halteng adalah seluas 585 Meter lebih, yang didalamnya terdapat dua kaplingan rumah. Hal yang sama saja juga berlaku pada 18 KK lainnya. Lokasi lahan mereka itu, saat ini telah ‘ditumbuhi’ jalan 40, perumahan Ketua DPRD Malut dan Perumahan Wakil Gubernur. Untuk mendapatkan keadilan, John mengaku setelah kembali dari tempat pengungsian, dirinya mencoba untuk bertemu dengan Habibu. Namun Habibu terkesan menghindar, karena tidak kunjung ketemu, dirinya bertekad mencari Habibu sampai ke Weda.

“ Karena tidak pernah ketemu dengan Habibu, masalah itu katorang bawa sampai di pengadilan. Dan sudah berapa kali sidang, tapi akhirnya sidang dihentikan karena Habibu meninggal,” ungkapnya.

Saat persidangan sudah tidak bisa digelar karena orang yang dituntut telah berpulang, John mengaku saat itu ada keputusan bersama yang dibuat di pengadilan. Dimana, oleh pengadilan, lahan yang sudah diaspal, diikhlaskan kepada pemerintah dan lahan yang berada pada sisi kiri dan kanan milik warga dikembalikan haknya kepada warga, keputusan itu disepakati oleh warga.
Sayangnya, setelah ada keputusan tersebut, Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui proyek Multi Years (MY) kembali melakukan penggusuran dengan alasan lahan tersebut sudah dibebaskan.

“ Karena masalah itu katorang surati Gubernur, tapi sampe sekarang belum ketemu. Saya hanya ketemu dengan orang di Biro Pemerintahan, dan sempat terjadi adu mulut karena mereka mengatakan, tanah tersebut sudah dibayar. Saya bilang betul tanah itu sudah dibayar, tapi pembayarannya seperti bukti yang kita lampirkan. Kalau yang sudah aspal, torang rela, tapi yang sisi kiri kanan itu harus dibayar, karena ada putusan pengadilan,” katanya.

Meski telah mendapatkan penjelasan itu, Pemprov tetap melakukan penggusuran. Namun, aktifitas itu terhenti karena diprotes oleh 19 KK pemilik lahan. Sebelumnnya Biro Pemerintahan Setdaprov Malut kepadanya menjelaskan bahwa, harga tanah permeter saat itu adalah Rp. 1250. Namun apapun itu menurut mereka, tidak bisa dilakukan selama penggusuran dilakukan tanpa ada perundingan dengan warga pemilik lahan.

“ Kalau awalnya bicara maka bisa jadi ada kesepakatan, tapi penggusuran itu dilakukan tanpa prundingan, karena itu dalam laporan ke gubernur itu torang anggap tidak resmi penggusuran yang lalu karena itu tanpa perundingan dengan torang. Ini penyerobotan lahan, hak kami dirampas. Padahal Bupati Halteng saat itu juga sudah punya pengakuan kalau lahan ini dikembalikan ke warga,” tandasnya. (amy)

Gubernur Didesak Tetapkan Peta Lahan, Sebut 50 Milyar Dana Lahan Diselundupkan

Pemerintah Propinsi Maluku Utara Serobot Tanah Warga



SOFIFI- Masalah pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur pemerintah provinsi Maluku Utara di Sofifi semakin hari semakin rumit. Proyek pengadaan tanah ini disamping merugikan masyarakat karena terjadi permainan harga, Pemprov juga melakukan penyerobotan hak atas tanah milik warga.

Penyerobotan tanah yang dilakukan oleh Pemprov Malut ini menimpa tanah milik Magdalena Bilo, salah satu warga Dusun Gosale Puncak. Sebidang tanah seluas satu kapling rumah digusur tanpa ada pembayaran. Anehnya, diatas tanah milik Magdalena telah dibangun perumahan untuk Sekertaris Daerah Provinsi Maluku Utara, Muhadjir Albaar (depan kediaman Gubernur). Penyerobotan ini ternyata dilakukan sejak proyek pembebasan awal pada tahun 2003. Hingga saat ini, Magdalena masih mencari keadilan dengan menyurati Pansus Aset Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Malut.

“ Ada satu keluarga di Dusun Gosale Puncak yang tanahnya belum dibayar. Padahal diatas tanah miliknya telah dibangun kediaman Sekprov. Nama pemilk tanah, Magdalena Bilo yang hingga saat ini terkatung-katung nasibnya dan suratnya sudah masuk ke kami pagi ini. saya katakan bahwa secara tidak langsung pemprov telah melakukan penyerobotan tanah. Apalagi sampai saat ini, tanah tersebut belum dibayar,” Ujar Amin Drakel, Sekertaris Pansus Aset DPRD Malut kemarin.

Matius Bilo, Kepala Dusun Gosale Puncak yang ditemui menjelaskan, persoalan tersebut terjadi saat pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah provinsi Malut pada tahun 2003. Dimana menurut dia, saat itu, proyek pembebasan yang dipimpin langsung oleh pejabat pemprov bernama Akmal. Harga tanah permeter adalah sebesar Rp. 10 ribu padahal, masyarakat meminta agar harga permeter adalah Rp.12 ribu.

“ saat itu saya paksakan harga tanah, itu bertujuan agar tidak ada masyarakat yang merasa dirugikan. Tapi begitulah, akhirnya kita sepakat harga tanah tidak bisa naik, standarnya tetap sepuluh ribu per meter. Apalagi saat itu mereka beralasan harga tersebut berdasarkan NJOP,”jelasnya.

Lahan yang dimiliki masyarakat tersebut menurut dia, pada umumnya telah memiliki sertifikat. Anehnya, saat pembebasan dilakukan dan dirinya melakukan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Tidore Kepulauan. BPN menjelaskan jika sertifikat yang dimiliki oleh masyarakt sudah tidak bisa digunakan.

“ Saya ke Pertanahan tapi mereka bilang semua sertifikat sudah hangus dan tidak berlaku lagi,” akunya.

Mendapat penjelasan demikian, dia mengaku dilanda kebingungan. Pasalnya disaat yang bersamaan, seluruh warga yang tanahnya berada pada lokasi pembebasan (saat ini kantor Gubernur Malut dan areal disekitarnya) tetap mempertanyakan persoalan tersebut kepada dirinya. Diakuinya, jika saat dirinya mendapati penjelasan tersebut, tidak ada lagi bantahan darinya. Itu dilakukan karena dirinya tidak mengetahui mekanisme pembebasan lahan dan pengurusan sertifikat.

“ Ada sebelas orang yang lahannya dibebaskan pada tahun 2003. Diatas lahan tersebut dibangun kantor gubernur. Saat itu saya tidak bisa berbicara banyak karena saya tidak memahami aturan. Karena itu saat pembebasan lahan berlangsung kita (warga) mengikuti harga tanah yang telah ditetapkan itu,” ungkapnya.

Dikatakannya, untuk pembebasan lahan pada tahun 2003, di Gosale Puncak, pemprov melakukan pembebasan seluas 4 Ha. Seluruh masyarakat, termasuk dirinya diberikan Rp. 10 ribu permeter. Sementar untuk sertifikat, hingga saat ini yang mereka pahami, sertifikat milik mereka sudah tidak berlaku lagi.

“ Diundang-undang itu sertifikat seumur hidup jadi tidak ada sertifikat yang hangus atau tidak berlaku lagi,” tambah Amin Drakel. (amy)
 

Kamis, 02 Juni 2011

Kembali Bangun

Bangun dari lelap panjang yang melelahkan,,,,,,
mungkin inilah ungkapan pertama yang patut di tulis untuk pembuka blog ini setelah sekian lama stag. tanpa terasa, sudah hampir 5 bulan lamanya semuanya stag tanpa bisa bergerak. ada yang mencoba terus mendinamisasi keadaan, namun itu dalam konteks dan ruang yang berbeda.
Namun, semoga Allah mengabulkan, mulai hari ini. semuanya akan di dinamiskan kembali, membangun kembali bongkahan peristiwa yang tidak terasa kemarin turut menghiasi perjalanan PMII Cabang Tidore yang telah menginjak usia 5 Tahun.