AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

Jumat, 06 April 2012

Polisi Ahistoris dan Warga Gendeng Rekayasa?

Semenjak aksi demo besar-besaran menentang kenaikan BBM, Pesantren Sufi penuh sesak dijejali warga kampung yang menonton Televisi sambil berbincang dengan Sufi tua, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Dullah, dan Sukiran. Sambil bersorak-sorak penuh semangat warga mengelu-elukan mahasiswa yang dianggap sebagai pahlawan karena membawa aspirasi mereka, yaitu menolak kenaikan harga BBM yang bakal pasti menyengsarakan rakyat kecil.        Pada hari kedua aksi demo, warga dengan kecewa melontarkan komentar-komentar miring ketika terjadi perubahan alur cerita dalam tayangan televisi. Entah bagaimana nalar waras dan logika sehatnya, tiba-tiba bermunculan aksi-aksi warga yang mendukung rencana pemerintah menaikkan BBM. Bahkan yang melanggar logika sehat, tiba-tiba bermunculan warga yang mendukung polisi menyerang mahasiswa sehingga terkesan mahasiswa melakukan aksi demo itu mengganggu warga sehingga warga membela polisi di mana mahasiswa dicitrakan sebagai musuh negara dan masyarakat.
        "Jancok, itu warga gendeng apa kok memusuhi mahasiswa?" seru warga heran.
        "Iya, itu warga gendeng."
        "Itu sih siasat pencitraan agar tindakan polisi yang brutal dan ganas dibenarkan masyarakat."
        "Benar itu!" sahut Sukiran menyela,"Mana ada hari gini warga bela polisi..itu rekayasa goblok. Mereka salah kalau menilai rakyat negeri ini goblok seperti mereka."
        "Itu pasti warga bayaran," tukas Dullah memastikan.
        "Kalau melihat bentuk fisik, keberanian dan ketangkasan warga-warga itu melempari dan menyerang mahasiswa, kok rasanya aneh itu warga masyarakat. Aku curiga, itu warga terlatih," sahut Sukiran.
        "Lhadalah, bisa saja itu polisi sendiri yang menyamar jadi warga lalu ramai-ramai menyerang mahasiswa."
        "Lihat itu! Lihat itu warga yang kepalanya ditutupi kain hitam..hebat sekali dia melempari mahasiswa dengan batu. Gerakannya sudah terlatih bener," seru Dullah menuding-nuding televisi.
        "Iya itu. Kalau bener-bener warga untuk apa kepalanya ditutupi kain hitam, toh mereka itu pembela polisi..."
        "Rekayasa! Rekayasa! Rekayasa goblok!" seru warga serentak.
        Sufi tua mengangkat tangan kanan  ke atas saat kegaduhan pecah dengan hiruk suara bising. Semua diam. Lalu dengan suara berat Sufi tua memberitahu bahwa tindakan represif yang dilakukan polisi terhadap mahasiswa itu akibat petinggi-petinggi polisi hingga keroco-keroco bawahan ahistoris alias buta sejarah bangsa dan negara.
         "Apa hubungan ahistoris dengan kasus polisi menindas mahasiswa, pakde?" tanya Dullah ingin tahu.
         "Ya polisi tidak tahu bagaimana sejarah polisi dan buta sekali dengan sejarah mahasiswa," sahut Sufi tua singkat.
         "Maksudnya bagaimana pakde?" sergah Dullah penasaran.
         "Ya sejarahnya, polisi itu di negeri ini kan dibentuk penjajah Belanda. Jadi sejak lahir, sudah menjadi hamba kekuasaan. Zaman penjajahan dulu malah  ada PID - Politiek Inlichtingen Dient - lembaga intelijen yang bertindak sebagai mata-mata pemerintah penjajah yang anggotanya adalah polisi. Para Founding Father kita banyak ditangkap dan dijebloskan ke penjara gara-gara laporan PID. Kaum Pergerakan juga takut dengan PID," kata Sufi tua menjelaskan.
        "Woo begitu ya.." gumam warga manggut-manggut.
        "Nah di zaman penjajah Jepang, polisi juga bertindak jadi penopang kekuasaan pemerintah penjajah. Yang paling ditakuti adalah polisi tentara Jepang yang disebut Kenpetai. Entah berapa ratus ribu orang kita diinterogasi, dikepruki, dipermak, diinjak-injak, disabet samurai oleh Kenpetai sampai nyawa mereka terbang ke langit," Sufi tua menjelaskan.
       "Woo begitu ya..."
      "Sedangkan mahasiswa, semenjak awal sudah punya peran penting sejak pembenihan embrio hingga kelahiran negara kita. Kalian semua harus tahu, bahwa pergerakan nasional kita dirintis dari KAMPUS oleh Dr Wahidin Sudiro Husodo, Dr Cipto Mangunkusumo, Dr Radjiman Wedyodiningrat, Raden Mas Tirto Adisuryo, Dr Soetomo, Bung Karno, Bung Hatta, dan pahlawan perintis kemerdekaan lain. Sejak Kebangkitan Nasional hingga  Sumpah Pemuda, yang merancang dan memotori adalah mahasiswa. Bahkan untuk memaksa Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan bangsa, mahasiswa sampai menculik dan membawa Bung Karno ke Rengas dengklok. Itu sejarah."
       "Woo begitu ya..."
       "Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa!" seru warga sambung-menyambung.
       Sufi tua mengangkat tangan sambil berkata,"Karena itu, kampus dulu memiliki kebebasan mimbar dan hak untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar negara yang mereka lahirkan selamat sampai ke tujuan mewujudkan cita-cita bersama - menciptakan masyarakat adil dan makmur."
       "Interupsi pakde," sahut Dullah mengacungkan tangan,"Kalau memang kampus punya hak untuk mengawasi pemerintahan, kenapa mahasiswa melakukan aksi demo dikeroyok dan dikepruki polisi seolah-olah maling, tukang copet, pengutil, preman jalanan?"
       "Itu karena polisi ahistoris," kata Sufi tua menjelaskan,"Dan hak kampus mengawasi pemerintah dicabut oleh presiden lulusan SMP pada tahun 1978 saat diterapkan NKK/BKK di mana Dewan Mahasiswa dibubarkan dan di kampus dibentuk Resimen Mahasiswa. Kampus harus bersih dari kegiatan politik. Itulah saat kampus diberangus dan dikebiri oleh Orde Baru, yang kader-kadernya tetap berkuasa sampai saat sekarang ini."
        "Wah aturan presiden lulusan SMP yang ahistoris itu harus diubah supaya masyarakat sadar sejarah. Mahasiswa harus diajari politik lagi supaya tidak digoblokkan seperti era Orde Baru," sahut Dullah mengepalkan tangan ke atas.
        "Hidup Mahasiswa! Hidup Mahasiswa!" seru warga mengepalkan tangan dan maju ke muka.

Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=284351191639265
Oleh Kiyai Agus Sunyoto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar