Masih tergambar jelas di ingatan ku, Tanggal 01 Mei 2009. Pergerkan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Kota Tidore Kepulauan bersama ratusan Pedagang Pasar Sarimalaha Soasio Tidore menyambangi kantor Walikota Tidore Kepulauan dalam rangka untuk menyampaikan Aspirasi pedagang menolak Relokasi Pedagang Ikan, Sembako, dan Barito (Bawang, Rica, Tomat) ke Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Goto Tidore.Sebuah aksi fenomenal bagi mahasiswa Kota Tidore Kepulauan, sebab telah sekian lama Mahasiswa Tidore yang menuntut ilmu di Tidore maupun Mahasiswa Tidore yang berlabel impor tidak pernah lagi menyentak kesadaran pemerintah Kota Tidore Kepulauan bahwa kebijakan yang mereka ambil ternyata tidak di inginkan oleh Masyarakat.
Ya... Kebijakan untuk merelokasi Pedagang Ikan, Sembako, dan Barito (Bawang, Rica, Tomat) Pasar Sarimalaha ke PPI Goto yang di anggap sama sekali tidak layak untuk di jadikan tempat mengais rejeki oleh pedagang. dengan banyak pertimbangan akan adanya banyak faktor yang mengakibatkan pedagang menolak di relokasi adalah; kapasitas PPI yang tidak mampu menampung seluruh pedagang Pasar Sarimalah. sebab dari catat Dinas Perindakop Tidore, kapasitas PPI mampu menampung sekitar 220 pedagang, sementara jumlah pedagang yang ada di pasar Sarimalaha Tidore di takasir mencapai jumlah 600 pedagang. angka ini merupakan jumlah total pedagang Ikan, Sembako, dan Barito (Bawang, Rica, Tomat) yang mengais rejeki di pasar sarimalaha. yang dari jumlah keseluruhan ini, dapat di klasifikasikan menurut waktu berjualannya, di mana ada pedagang yang berjualan secara tetap dan pedagang yang berjualan hanya pada hari pasaran (Selasa dan Jum'at). dari klasifikasi ini, di dapatkan bahwa jumlah pedagang yang berjualan secara tetap adalah sebanyak 445 pedagang, sisanya adalah pedagang yang berjualan menurut musim pasar. pertanyaannya bahwa dari jumlah pedagang tetap saja, kapasitas PPI sudah sangat jauh dari cukup. apalagi kalau di tambahkan dengan pedagang yang berjualan menurut musim pasar.
Selain persoalan kapasitas, persoalan berikutnya adalah. di PPI Goto tidak memiliki terminal sebagai syarat adanya pasar sebagai pusat transaksi penjual dan pembeli. sehingga menyebabkan jalanan satu-satunya di depan PPI menjadi amburadul dan mengakibatkan potensi kecelakaan lalulintas kapanpun bisa terjadi.
Berikutnya adalah faktor alam, bahwa di PPI Goto yang di rencanakan akan di tempati pedagang ikan pasar Sarimalaha tidak memenuhi kriteria untuk di jadikan tempat berjualan ikan. sebab yang pertama adalah, di PPI Goto pelabuhannya hanya mampu megakomodir 1 kapal ikan di kepala jembatannya, sebab perairan di sekitar jembatan sangat dangkal, sehingga menyebabkan kapal ikan yang akan berlabuh bisa kandas; sebab yang kedua adalah, di PPI goto terdapat hilir kali mati yang sewaktu-waktu akan di landa banjir sehingga mengancam pedagang. selain itu, ada dua hilir empang yang selalu setia menyuplai air tawar ke laut di sekitar PPI, sehingga kadar keasinan air laut di sekitar PPI menjadi berkurang. sementara para pedagang ikan dalam setiap beberaopa menitnya selalu kontinyu membahasi ikannya dengan air laut yang kadar keasinannya masih murni untuk menjaga kesegarannya, sebab pedagang ikan di tidore masih berdagang dengan cara yang masih tradisional. selain itu, akibat berada di hilir sungai. laut di sekitar PPI menjadi dangkal akibat endapat tanah yang selalu di bawa oleh banjir dari hulu sungai. tanah yang mengendap ini menjadi endapat tanah berlumpur yang mengakibatkan orang yang masuk ke dalamnya akan tertanam kakinya sedalam lutut orang dewasa. sehingga air laut sebagai satu prasyarat pengawetan ikan secara tradisional tadi sulit di dapatkan. selain itu, sisa ikan yang tidak terjual akan di simpan di dalam cool box yang berisi air laut yang di beri es untuk menjaga kesegarannya untuk bisa di jual pada hari berikutnya. selain di beri es, terkadang pedagang juga menambahkan garam untuk meningkatkan kadar keasinanya. Kondisi air yang berada di hilir sungai yang dangkal dan bersifat becek di dasarnya, dan tercampur dengan air tawar yang selalu mengalir dari dua buah hilir empang seperti ini, bisa menyebabkan ikan yang di simpan akan membusuk pada hari berikutnya sehingga tidak dapat lagi di jual, dan ini tentunya akan sangat merugikan pedagang.
Apakah tidak ada mesin pendingin yang bisa di jadikan sarana penyimpanan ikan oleh pedagang yang di sediakan oleh pemerintah, ternyata hal ini menyimpan persoalan lain yang akhirnya juga berhasil di bongkar oleh PMII Cabang Tidore. hal tersebut adalah Pekerjaan Proyek Pengadaan 1 Unit Mesin Air Blast Freezer (ABF) Pada Konstruksi Gudang Beku PPI Goto oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tidore Kepulauan Yang Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Yang Berakibat Pada Kerugian Negara Sebesar Rp. 350.000.000. Rincian persoalannya adalah sebagai berikut :
Langkah itu terus terpacu dengan semangat membara
Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tidore kepulauan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2007 mendapatkan alokasi anggaran modal sebesar Rp. 330.000.000 (tiga ratus tiga puluh juta rupiah) dan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) tahun 2007 terjadi perubahan anggaran. Dimana anggaran tersebut ditambah sebesar Rp. 20.000.000 (Dua Puluh Juta Rupiah) sehingga total anggaran menjadi Rp. 350.000.000 (Tiga Ratus Lima Puluh Juta Rupiah). Untuk belanja pengadaan 1 Unit Mesin pendingin Air Blast Freezer (ABF) Pada Proyek Konstruksi Gudang Beku Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Kota Tidore Kepulauan.
Dari hasil investigasi yang di lakukan ditemukan kegiatan Pengadaan yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang dilaksanakan oleh CV. PUTRA FLOBAMORA Tidore dengan masa kerja selama 30 hari terhitung sejak bulan November - Desember 2007 berdasarkan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) nomor 22/SPMK/DKP-TK/X/2007 tertanggal 22 November 2007 dengan nilai kontrak sebesar Rp. 343.500.000 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tidore Kepulauan tidak terealisasi.
Infestigasi kemudian diperdalam lagi, ditemukan dokumen kontrak dari pekerjaan pengadaan tersebut sampai saat ini tidak pernah dipegang oleh pihak rekanan. Dari keterangan rekanan ditemui menjelaskan bahwa, proyek ini dilaksanakan tidak melalui proses pelelangan umum, namun secara diam-diam Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tidore memanggi rekananl untuk di serahi proyek pengadaan 1 Unit Mesin Air Blast Freezer (ABF) pada Proyek Konstruksi Gudang Beku Pusatat Pendaratan Ikan (PPI) Goto Kota Tidore Kepulauan. Selanjutnya seluruh administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan peroyek pengadaan di buat oleh pihak Dinas Perikanan dan Kelautan termasuk Dokumen penawaran yang menjadi kewajiban rekanan.
selanjutnya tanda tangan perusahan ditiru oleh pihak Dinas Penyelengara proyek guna melakukan pencairan anggaran proyek, dan lebih mengejutkan lagi pihak dinas melakukan pemblokiran dana pada rekening rekanan yang disimpan pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Propinsi Maluku Utara Cabang Tidore, kemudian dilanjuti dengan pencairan dana kerekening rekanan berdasarkan surat yang di tanda tangani oleh Kadis Perikanan dan Kelautan Kota Tidore. Anggaran yang masuk kerekening rekanan sebesar Rp. 299.781.820 setelah dipotong Nilai PPn & PPh yang masing-masing sebesar Rp. 31.227.272 dan Rp. 12.490.909 dari nilai proyek pengadaan sebesar Rp. 350.000.000 sebagaimana tertuang dalam nomenklatur APBD Perubahan Tahun Anggaran 2007.
Ironisnya, pelaksanaan pekerjaan pengadaan ini tidak dilaksanakan sampai batas waktu yang diberikan yakni bulan November-Desember tahun 2007. Tidak berjalannya pekerjaan ini pihak rekanan berdalih sebagaimana yang disampaikan kepada Tim Investigasi yakni harga satu unit mesin pendingin Air Blast Freezer (ABF) jauh berada diatas nilai kontrak. Karena mesin ini adalah mesin Asembeli (rakitan) yang komponennya merupakan produk luar negeri yang di import. Contohnya Evaporator dengan jenis Mark Muler yang di Import dari Austria, yang menurut pihak penyedia barang, Perusahaan Aneka Cool bahwa barang ini sudah lama tidak di Import. Oleh karena itu, pihak perusahaan meminta waktu sambil menunggu komponen tersebut diadakan (di Import) sehingga membutuhkan waktu cukup lama.
Lebih lanjut pihak rekanan menjelaskan bahwa Speecs (jenis) dan harga yang diterima menjadi acuan dari pengadaan mesin pendingin dari dinas kelautan dan perikanan adalah speecs dan harga mesin yang di faks oleh pihak Perusahaan Aneka Cool pada tahun 2006 Dengan harga U$ 24.000 (Dua Puluh Empat Ribu Dolar Amerika). Sedang Speecs (Jenis) mesin Pendingin tersebut seharga U$ 27.000 (Dua Puluh Tujuh Ribu Dolar Amerika) pada tahun 2007, apalagi pada tahun tersebut kurs dolar naik secara tidak teratur. nilai tersebut menurut rekanan belum termasuk :
- Jasa pengiriman via peti kemas.
- Akomodasi, transportasi, serta gaji teknisi selama di daerah.
- Akomodasi penyedia jasa.
- Pekerjaan sipil dan kawat listrik.
- Harga Barang tersebut dikenai PPn 10 %
- Serta bahan-bahan lain yang tidak tercantum di atas.
Menanggapi kondisi tersebut pihak rekanan sudah menyampaiakan surat secara resmi dengan nomor 014/CV-PF/III/2008 tanggal 9 Maret 2008 kepada Pihak dinas agar memberikan refisi anggaran dan adendum waktu pelaksanaan sehingga terjadi penambahan anggaran secara tertulis pada APBD atau APBD-P, namun surat tersebut tidak ditanggapi oleh Kepala Dinas bahkan Kepala Dinas sekedar memberikan janji sehingga pihak rekanan merasa kecewa dan di rugikan.
Untuk diketahui mesin yang sama juga dibeli oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah Pada tahun 2007 dengan nominal per-satuan menggunakan hitungan rupiah sebesar Rp. 484.000.000 (Empat Ratus Delapan Puluh Juta Rupiah) nomor RN.360/D1.168/DAK/6/2007 tanggal 26 Juni 2007 tentang pengembangan sarana dan prasarana perikanan yang dikerjakan CV.Virdyatama Primandiri yang Kapasitasnya mencapai 3 ton, dan jika di bandingkan nilai kontrak pengadaan satu unit mesin Air Blast Freezer oleh Dinas Perikanan dan Kelautan kota Tikep sebesar Rp. 343.500.000 seperti yang tertuang dalam SPMK merupakan suatu hal yang tidak wajar apalagi hitungan tersebut berpatokan pada harga tahun 2006.
Berikutnya ditemukan pihak rekanan tidak mengembalikan uang tersebut ke kas Dinas sebagaimana isyarat Kepres 80 Tahun 2003 terkait pengembalian anggaran jika proyek tidak dilaksanakan, namun rekanan kemudian memberikan alasan bahwa proyek pengdaan tidak dapat dilaksanakan disebabkan anggaran tidak mencukupi untuk pembelian mesin pendingin tersebut. Di tambah lagi dengan perilaku Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tikep yang telah meminta fee proyek Rp. 40.000.000,- kepada rekanan.
Kondisi demikian jelas bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagai berikut :
- Bab II bagian kelima mengenai Etika pengadaan pasal 5 poin a dan e yang menyebutkan setiap pengguna barang/jasa penyedia barang/jasa dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan barang dan jasa harus memenuhi etika sebagai berikut : 1). Melaksanakan tugas secara tertib disertai rasa tanggungjawab untuk mencapai sasaran ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang dan jasa; 2). Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang dan jasa.
- Bab II bagian ketujuh mengenai sistem pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya, paragraf pertama tentang metoda pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya pasal 17 ayat ke-5 yang berbunyi ”dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggung jawabkan.
- Bab II bagian keempat mengenai penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) pasal tiga 13 ayat 1 – 5 yang menyatakan : 1). Pengguna barang/jasa wajib memiliki Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarakan data yang dapat dipertanggung jawabkan; 2). HPS disusun oleh panitia/pejabat pengadaan dan ditetapkan oleh pengguna barang/jasa; 3). HPS digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran termasuk rincian untuk menetapkan besaran tambahan nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang dinilai terlalu rendah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran; 4). Nilai total HPS terbuka dan tidak bersifat rahasia; 5). HPS merupakan salah satu acuan dalam menentukan tambahan nilai jaminan.
- Bab II Bagian Kedelapan Paragraf Ketujuh mengenai Penghentian dan Pemutusan Kontrak Pasal 35 point 7 yang menyebutkan ”Kotrak dibatalkan apabila para pihak terbukti melakukan KKN, kecurangan dan pemalsuan dalam proses pengadaan maupun pelaksana kontrak”.
Disini kami mencoba untuk kembali pada ketentuan awal yang masing-masing tertuang pada bab I Ketentuan Umum bagian pertama pengertian istilah pasal 1 ayat ke-9 yang menyatakan ”pejabat pengadaan adalah personila yang diangkat oleh pengguna barang/jasa untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa dengan nilai sampai dengan Rp. 50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah). berikut bagian ketiga prinsip dasar pasal 3 poin a – f dalam KEPRES ini sendiri, dengan alasan bahwa sampai sejauh ini kami belum mendapat kepastian mengenai proyek ini masuk dalam kategori emergency atau tidak. Sebab, jika dilihat dari sistem pengadaannya proyek ini menggunakan sistem penunjukan langsung padahal biayanya melebihi Rp. 50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah) yang dalam ketentuan Kepres 80 tahun 2003 mengisyaratkan untuk dilakukan dengan sistem pelelangan umum .
Dan apabila kita mencoba untuk melihat syarat suatu proyek dapat dikatakan emergency adalah sebagai berikut :
- sedang terjadi keadaan darurat dan membutuhkan untuk segera diadakan alat yang bersangkutan.
- sedang terjadi bencana alam.
Sementara Dikota Tidore Kepulauan kondisi-kondisi diatas tidak sedang terjadi. Karena proyek ini merupakan satu kesatuan dari proyek pembangunan Konstruksi Gudang Beku pada Pusat Pelelangan Ikan (PPI) Kota Tidore Kepulauan. Dan di sini telah terjadi proses pembohongan terhadap publik yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Tidore Kepulaun untuk menutupi masaalah ini.
Lebih mengejutkan lagi persoalan ini lolos dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia Perwakilan Maluku Utara pada semester I dan II tahun 2008. Olehnya itu kasus ini sangat penting untuk di angkat ke publik guna membentuk tatanan pemerintahan yang baik dan bersih di Kota Tidore Kepulauan yang menggunakan simbol Toma Loa Se Banari (Di jalan lurus dan dalam kebenaran). dan jika kondisi ini dibiarkan dan didiamkan hanya akan memanjakan pemerintah Tikep sendiri, sehingga akhirnya jabatan dijadikan sebagai tempat mengeruk kekayaan pribadi yang berdampak besar merugikan masyarakat di ranah Limau Duko (Sebutan tradisionla Tidore).
Kesimpulannya:
Dari data investigasi yang kami dapatkan diatas, kami menarik kesimpulan sementara terkait terjadi kasus Korupsi Pada Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tidore Kepulauan di antaranya adalah :
- Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tikep dan rekanan dalam hal ini CV. Putra Flobamora sebagai rekanan yang ditunjuk dalam melakukan pengadaan satu unit mesin Pendingin Air Blast Freezer (ABF) pada Proyek Konstruksi Gudang Beku telah melanggar acuan normatif yang tertuang dalam Kepres 80 Tahun 2003 karena semua mekanisme pengadaan barang dan jasa telah diabaikan.
- Pihak Dinas tidak memiliki pengetahuan terkait dengan mesin pendingin Air Blast Freezer sehingga dalam pelaksanaan pengadaan barang tidak berjalan maksimal sebagimana ketentuan normatif yang ada, hal ini dipicu oleh orientasi kepala dinas pada profit dari proyek tanpa memikirkan sukses tidaknya proyek tersebut.
- Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Tidore Kepulauan terindikasi melakukan praktek korupsi dengan cara meminta fee proyek kepada rekanan sebesar Rp 40.000.000 sebelum proyek dilaksanakan.
- Di ketahui anggaran yang masuk ke rekening rekanan sebesar Rp. 299.781.820 dari nilai kontrak yang ada sebesar Rp. 343.500.000 setelah dilakukan pemotongan nilai PPh sebesar Rp. 31.227.272 dan PPn sebesar Rp. 12.490.909.
- Kadis Perikanan dan Kelautan kemudian melayangkan surat kepada rekanan dengan nomor 904/146/13/2009 tertanggal 15 Juni 2009 tentang pengembalian dana oleh pihak rekanan yang disampaikan pada tanggal 23 Juni 2009. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa rekanan segera melakukan pengembalian anggaran sebesar Rp. 307.678.000 dari nilai kontrak sebsar Rp. 343.600.000 disini terjadi selisih harga sebesar Rp. 7.896.180. Surat tersebut juga memuat batas akhir masa kontrak adalah tanggal 20 Desember 2007.
- Lebih ironis lagi, pada pemeriksaan BPK-P RI Maluku Utara pada semester I dan II tahun 2008 tidak ditemukan adanya persoalan pada proyek pengadaan ini sebab itu kami mensinyalir ada sesuatu didalam pelaksanaan pemeriksaan ini dan kemungkinan besar ada campur tangan elit-elit birokrasi lain baik di eksekutif dan Legislatif Kota Tidore Kepulauan.
Inilah penyebab kenapa mesin pendingin tempat pengawetan ikan akhirnya tidak bisa lagi di adakan. dari hasil infestigasi ini akhirnya PMII Cabang Tidore melaporkan Kadis Kelautan dan Perikanan Tidore ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara dan Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara. dan Alhamdulillah pada beberapa saat yang lalu (Waktu dan tanggalnya lupa tercatat karena fokus kami terbagi oleh beberapa persoalan mendesak saat ini), Kadis perikanan di tetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Malut yang sebelumnya menjalani proses pemeriksaan dalam waktu yang panjang, dan saat ini Kadis menjalani masa tahanan sambil menunggu masa persidangan di rutan kelas IIB di Ternate.
Kembali ke persoalan Pedagang, dengan alasan inilah. akhirnya Walikota Tidore Kepulauan yang saat itu secara langsung menghadapi pengunjuk rasa di halaman Kantor menyatakan tidak akan memindahkan pedagang ke PPI Goto.
Namun persoalan ini tidak berakhir di sini....... runtutan masaalah ternyata masih terus membuntuti para pedagang.
persoalannya akan di jabarkan pada sesi II karena tulisan ini saya rasa sudah cukup panjang, nanti Sahabat-Sahabati bosan membacanya. makanya saya pilah per part, dan Saya harap Sahabat-Sahabati tidak bosan membaca tulisan ini. kalau sudah membaca tolong di kasih komennya ya........
Wallahulmuwafiq Ilaa Aqwamitthariq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar