AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

Selasa, 16 November 2010

Mekah Dulu Dan Kini

Sakralnya kota suci Makkah semenjak Jaman Nabi Ibrahim a.s, sampai pada masa Nabi  MuhammadSaw, hingga dunia modern saat ini masih terasa. Eksistensi kesakralan (kesucian) kota Makkah menjadi lebih nyata dan (legal) ketika Nabi Muhammad membebaskan kota Makkah (fatku Makkah). Peristiwa ini diabadikan dalam al-Qur’an[1] agar dikenang sepanjang jaman oleh ummat manusia. Setelah Makkah diditaklukan Nabi, semua penduduk Makkah memeluk islam secara serentak (afwaja).
Dalam peristiwa penaklukan kota Makkah, tidak ada pertumpahan darah antara pihak Nabi dan penduduk Makkah. Selaku pemimpin laskhar Makkah, Abu Shofyan mengatakan” barang siapa memasuki rumah Abu Sofyan dia akan aman”. Ini trik politik Nabi untuk menaklukkan hati Abu Sofyan yang tidak mau memeluk islam. Kata-kata Nabi menyentuh hati Abu Sofyan, dia merasa bahwa semasa Jahiliyah memperoleh kedudukan yang sangat tinggi sebagai pemimpin, sedangkan ketika memeluk islam Nabi memulyakanya.
Sejak saat itu, kota Makkah tidak boleh dimasuki oleh orang-orang musrik (tidak beragama), Nasrani, Hindu, Budha, Yahudi. Di masa Nabi dan sahabat, penerapan aturan memasuki kota suci sangat ketat. Para kholifah penganti Nabi, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sangat setia menerapkan aturan sunnah tersebut. Bahkan pada masa pemerintahan mereka, semua tentara mesti dari orang islam, semua istri-istri Nabi mendapat tunjangan (pensiunan[2]), begitu juga sahabat Ansor dan Muhajirin. Makkah dan Madinah menjadi kota yang di Haramkan (sucikan). Mereka tidak rela kota suci di kotori oleh orang-orang tidak bertuhan (atheisme) atau mereka yang menyekutukan tuhan polyitheisme (musrik). Kendati demkian, tidak selamanya orang non islam, menerima. Mereka berusaha keras agar bisa memasuki kota suci umat islam dengan segala cara, Philip.K.Hitti sejarawan barat menyebutkan” Tidak kurang dari lima belas orang Kristen pernah memasuki kota suci Makkah. Mereka adalah Ludovico di Verthema (1503), Eldon Ruther (Ingris), Julius Germanus ( Hungaria), Sir Richard (1854). Ini diungkapkan oleh seorang sejarawan barat (Hitti,K. Philip ” History Of The Arab :149 (2008)[3].
Sakralisasi tanah haram berlangsung sampai saat ini. Di era globalisasi dan internetisasi, kota suci Makkah sudah berubah wajahnya, bentuk bangunan sangat megah dan mewah, tehnologinya sangat canggih. Gunung-gunung menjulang berubah menjadi Hotel mewah dan berbintang, Mall (super market), perbelanjaan menarik perhatian semua orang. Masyarakatnya semakin majemuk dan hidrogen, bukan hanya penduduk asli Makkah, tetapi banyak keturunan dari antero dunia, seperti Mesir, India, Indonesia, Malyasia, Thailand, Bangladesh, Yaman, Turkey, Bukhory (Ubeskistan), Rusia, China, serta Afrika. Belum lagi para pekerja yang memburu real dari benareka ragam suku bangsa dan bahasa. Sepanjang jalan tidak lagi gersang seperti yang diberitakan dalam sejarah. Keindahan menghiasai semua sudut kota suci Makkah, taman-taman hjiau nan rindang menghiasi perkantoran. Begitulah wajah Makkah sekarang, mewah, megah, indah dan menjanjikan keindahan dunia serta menjnajikan masa depan perekonomian bagi setiap orang.
Seiring dengan kemajuan tehnologi, informasi, ekonomi, ternyata berdampak kurang bagus. Manusia tidak lagi memulyakan kota ini, mereka yang datang dari penjuru dunia sering kali terlena dengan keindahan. Hotel-hotel penuh dengan para wisatawan haji, Mall penuh dipenuhi para pengusaha, dan orang kaya yang berbelanja menghabiskan harta (bekal) untuk mengoleksi kebutuhan pribadainya. Tidak aneh jika Nabi pernah meramalakan, bahwa kelak sebagian umatku akan menunaikan haji dengan beragam tujuan, seperti popularitas (para cendikiawan dan ualama’), rekreasi,( pengusaha dan pejabat), hartawan (bisnis dan niaga), peminta-minta (miskin dan fukoro’[4]). Tidak aneh jika sering kita temukan di Makkah banyak orang kaya menunaikan haji, tetapi waktunya habis untuk berbelanja di mall yang disediakan di sekitar Masjidil Haram. Sering ditemukan, orang yang meminta-meminta (disekitar rumah tuhan), dengan alasan, kehabisan bekal, kecopetan, atau kehilangan. Mereka menangis untuk menarik simpati sekitarnya, agar mendapatkan belas kasihan. Banyak jama’ah haji, khususnya dari Indonesia merasa iba, kemudian mereka memberikan sebagian uangnya. Ini sering terjadi, bahkan sudah menjadi fenomena setiap musim haji. Jama’ah haji asal indonesia tidak mengerti, sesungguhnya mereka menangis dengan alasan kehilangan hanyalah ulah orang miskin yang tujuan hajinya meminta-minta. Sedangkan para pejabat seringkali menghabiskan waktunya dengan rekreasi (santai-santai), duduk berlama-lama di Lobi Hotel berbintang, sambil makan dan minum, serta merokok. Ada juga yang sengaja keluar kota Makkah mencari hiburan, seperti Kafe khas Arab. Di mana di dalamnya menyediakan kopi Arab (Qahwah), serta rokok khas Arab (syissa[5]). Para cendikiawan dan selebritis menghabiskan waktunya untuk belanja ditempat-tempat mahal, membeli busana, jam tangan, dompet, tas, perhiasan, parfum.
Pelajar dan Santri (Umm al-Qura Makkah), yang mengaji dibeberapa halaqoh (Masjidil Haram) saat ini lebih rajin memburu real dari pada ilmu. Apalagi di Musim Haji dan Ramadhan, mereka berlomba-lomba memburu real dengan menjadi pembimbing (Guide). Para pemukim juga berkeliran dimana-mana, mereka menawarkan jasa memijit, ada juga makelaran jasa mencium hajar aswad, makelaran kambing, membuat piagam Haji. Yang lebih mengerikan, ada yang menjadi makelaran badal haji. Intinya, bagaimana mereka memanfaatkan waktu selama di Makkah memperoleh hasil yang sebesar-besarnya, sebagaiaman prinsip ekonomi Adam Smit[6]. Kondisi Makkah sudah sangat memprihatinkan, berbeda jauh dengan tahun 70-80-an.
Suatu ketika, seorang wanita tua yang berumur 60-an menunaikan umrah, beliau sangat senang menceritakan perjalanan umrahnya. Setelah saya tanya seputar pelaksanaan manasik umrahnya” beliau mulai menceritakan kalau setelah melaksanakan Thowaf langsung dilanjutkan dengan sa’i. Saya bertanya lagi, wah’ ternayata Ibu kuat sekali ya, walaupun usianya sudah enampuluaan” al-Hamdulillah Nak, saya mash kuat, Cuma saya cuapek sekali, jawab Ibu itu. Kenapa? Tanyaku” soalnya ketika sa’i saya mberkelilng 14 kali, dari shofa kemarwah tujuh kali, berarti (14 X). Siapa yang membimbing rombongan Ibu,” tanyaku singkat”. Beliau menjawab” pembimbingnya orang Indonesia (ustad) yang sudah lama tinggal di kota suci“.
Para mukimin (sebutan orang yang mukim di Makkah), baik itu pelajar, mahasiswa, pekerja (TKI), ketika pertama kali menginjakkan kakinya di tanah haram (Masjidil Haram) sangat terharu dengan ke-Agungan dan kebesaran Allah SWT. Merreka bersujud, air matanya terus membasahi kedua pipinya ketika melihat Baitullah (rumah Allah). Setiap putaran thowaf, tak henti-hentinya menyebut nama-Nya, bibirnya basah dengan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir. Ketika putaran thowaf terahir, mereka mengahirinya dengan berdo’a dibelakan multazam[7].
Seiring dengan pergantian waktu, mereka tidak lagi sering datang ke Masjdil Haram hanya sekedar melaksanakan sebuah penghormatan (thowaf). Yang biasanya setiap hari, berubah menjadi seminggu sekali, bahkan sebulan sekali bahkan tidak sama sekali. Kecuali melaksanakan umrah atau haji. Yang lebih menarik untuk dikaji, air mata yang deras mengalir tidak lagi membasahi pipinya. Tahmid, takbir, tahlil, talbiyah, jarang sudah jarang lagi dikumandangkan. Seolah-olah air matanya sudah kering kerontang, dzikir tidak lagi menarik untuk dilakukan, karena keindahan dan kemewahan kota Makkah merubah semua pola hidupnya.
Para pemukim, jama’ah haji, serta penduduk Makkah sering kali lupa (atau tidak tahu). Mereka dengan sadar melakukan kemaksiatan, seperti; menipu, bohong, nyopet, di kota di depan rumah Allah SWT tanpa merasa berdosa. Padahal, Ibnu Abbas seorang sahabat yang sekaligus ahli tafsir di era Nabi mewanti-wanti kepada putra-putrinya agar supaya jasadnya kelak di makamkan di Thoif. Beliau merasa, bahwa dirinya tidak pantas dimakamkan ditempat yang sakral (suci), Makkah karena merasa banyak dosa. Sikap Ibnu Abbas perlu dijadikan tolakukur bagi semuanya. Minimal, rasa sungkan kepada pemilik Baitullah, sehingga tidak berbuat negatif, lebih-lebih pealangaran syariat.
Sejak Makkah dipugar pada masa pemerintah Fahad ibn Abd. Aziz, Makkah tidak seperti sertus tahun lalu. Apalagi sekarang telah menjadi kota megah nan mewah, hotel, mall, serta semua jenis busana, makanan, dan permainan menghiasi kota suci. Nilai-nilai sakral akan semakin hari semakin redup, bahkan mulai pudar. Orang tidak lagi sungkan, malu, atau dekat dengan tuhan ketika di Makkah. Apalagi merindukan baitullah, dengan kata lain orang berada di sekitar baitullah tetapi hati dan fikiranya di hotel, atau dirumahnya masing-masing. Umar ibnu Khattab pernah mengatakan” wahai orang Yaman, segeralah kembali ke Yaman, wahai orang Syam[8], segeralah kembali, wahai warga Iraq, segeralah kembali”. Ini disampaikan Umar kepada jama’ah haji setelah merampungkah rangkain manasik Haji[9].
Di dalam redaksi lain, pernah disampaikan dalam buku tersebut” lebih baik engkau berada di negerimu semdiri, tetapi hatimu selalu dekat dan merindukan Baitullah. Tinggal di tanah suci berlama-lama sangat mengkhwatirkan, sebab melakukan kesalahan atau dosa ditanah haram dosanya dilipatgandakan sebgaimana kebaikan. Bahkan, akan diancam dengan siksaan, firman Allah yang artinya :” Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidilharam yang Telah kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara dzalim, niscaya akan kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih[10]. Imam Ghozali menuturkan di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin yang artinya” sesunggunhya kejelekan (maksiat) di tanah suci, dilipatgandakan dosanya, begitu juga kebaikan”. Wallau a’lam. (Abdul Adzim)
[1] . Q.S al-Nasar
[2] . Siti Aisah memperoleh dana pensiaun 12.000 dirham pertahun. Masing-masing dari ahlil baitk sekitar 4000-5000 dirham. Sedangkan para prajurit memperoleh kisaran 500-600 dirham.
[3] . Hitti,K. Philip ” History Of The Arab- 149. Serambi-jakarta. 2008″
[4] . Hasan, Tholhah, Muhammad, Kado untuk Tamu-Tamu Allah, 18- Lantabora Press-Jakarta, 2002.
[5] . Syissa adalah suatu alat merokok berjama’ah, bentuknya panjang sedangkan memakaianya bergantian. Sedangkan rasanya bervariasi, ada rasa jeruk, apel, mangga, candu, anggur. Sebagian pecandu mengatakan bahwa syissa enjadikan kecanduan, sehabis menghisab seolah-olah flyaing.
[6] . berusaha sekecil-kecilnya demi memperoleh hasil sebesar-besarnya, di Makkah hanya jual jasa. Paling ironis, ada yang menipu dengan membuat ” paspor palsu, ikomah, dll”. Wallau a’lam
[7] . Tempatnya antara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad. Tempat ini selalu dikerumuni manusia, mereka berdo’a sebagaimana Nabi melakukan di tempat ini.
[8] . Syiria dan sekitarnya
[9] . al-Hajjar, Muhammad” Allimuni Ya Kaum kaifa akhujju (ajarilah aku hai kawan, bagaiaman aku menunaikan haji”134-Dar al-Basair al-Islamiyah-Beirut.1997.
[10] . Q.S a-Hajj 25

Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/13/pudarnya-kesakralan-kota-suci/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar