Koordinator Bidang Advokasi PMII Cabang Tidore lagi beraksi.... Semangat Sahabat
SOFIFI- Bicara tentang proyek pembebasan lahan, tidak akan pernah habis mengungkap persoalan. Setelah dugaan mark up harga tanah karena proyek pembebasan melibatkan makelar. persoalan ketiadaan peta lahan kembali hangat dibicarakan. Gubernur Malut didesak segera menetapkan lokasi lahan yang telah dibebaskan untuk memperjelas kepemilikan tanah milik pemerintah.
Desakan ini disampaikan Solidaritas Untuk Masyarakat Korban Pembebasan Lahan Sofifi (SUMKPLS) yang pagi kemarin mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kantor Gubernur Malut. Dalam aksi yang diikuti puluhan aktifis lintas organisasi ini mereka menyoroti proses pembebasan lahan yang diduga menyimpan segudang persoalan. Pembebasan lahan yang tidak tertib, menghambat proses pembangunan infrastruktur mendasar Pemprov di Sofifi.
Dalam pernyataan sikap, SUMKPLS menyinggung, selama dua periode kepemimpinan Thaib Armayn sebagai Gubernur Malut. Pembangunan infrastruktur mendasar pemerintahan di Sofifi berjalan ditempat bahkan terkesan kacau balau. Hal tersebut menurut mereka, diakibatkan karena pemetaan lahan yang tidak jelas sehingga dalam pengerjaan pembangunan tersendat ketika masyarakat mulai mengklaim lahan miliknya.
“ Seharusnya sebelum proyek pembangunan dilakukan, peta lahan yang telah dibebaskan harus disiapkan. Namun yang ada saat ini adalah proses pembangunan yang tumpang tindih dengan proyek pembebasan lahan. Karena itu, Gubernur sudah saatnya menyiapkan peta lahan milik pemerintah,” ujar Amir Abdullah, Diretur Lembaga Mitra Sosial (LMS) Malut dalam orasinya.
Selain itu, persoalan lain yang diungkapkan dalam aksi tersebut adalah tidak konsistennya pemerintah provinsi Malut dalam tata ruang sebagaimana yang ditetapkan pada empat Batas Wilayah Kota (BWK) Kota Sofifi. Pembangunan yang ada saat ini menurut mereka sudah tidak lagi berdasarkan pada penetapan BWK tersebut. Pembangunan yang tidak konsisten tersebut menurt mereka telah menghabiskan anggaran yang begitu banyak, seperti pembangunan Rumah Sakit (RS) tipe B di Guraping yang akhirnya dipindahkan ke Garojou, Pembangunan Monumen (bundaran) jalan 40 dan kediaman kantor gubernur malut yang sudah mengalami perubahan berulang kali.
Disisi lain SUMKPLS mengungkapkan, adanya indikasi kepemilikan puluhan hektare lahan yang disinyalir milik pejabat pemprov. Untuk mendapatkan lahan tersebut, para pejabat menurut SUMKPLS dalam pembebasan menggunakan nama orang lain dengan tujuan mengaburkan status kepemilikan yang sebenarnya. Hal ini menurut mereka mengakibatkan munculnya praktek pencaloan dalam proyek pembebasan lahan. Dalam prakteknya, Pejabat-pejabat itu membeli tanah dengan harga murah yang kemudian dijual kembali kepada pemerintah dengan harga yang tinggi. Kepemilikan lahan tersebut menurut mereka, jika dilihat dari UU Agraria Nomor 5 tahun 1960, Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 1960 dan Keputusan Menteri 1960 tentang Hak Kepemilikan Tanah Perseorangan, telah jelas diatur bahwa kepemilikan tanah tanah perseorang cukup dengan luasan 2 Ha.
Selain itu SUMKPLS menyebutkan, ada persoalan yang mengelitik dalam proses pembebasan lahan yang dilakukan oleh Pemprov Malut sejak tahun 2001 sampai 2011, dimana menurut mereka anggaran pembebasan lahan sebesar Rp. 50.753.127.150 tidak diketahui keberadannya dari total nilai pagu anggaran pembebasan lahan selama sebelas tahun sebesar Rp. 114.166.319.750 sehingga nampak anggaran yang terealisasi hanya sebesar Rp. 63.413.192.600.
Karena itu dalam point pernyataan sikap yang ditandatangani empat organisasi yakni GP Ansor Malut, PMII Cabang Tidore, Pemuda Alkhairat Tikep dan LMS Malut, mereka mendesak agar Gubernur Malut, Thaib Armayn untuk segera melakukan penetapan peta lahan yang sudah dibebaskan dan akan dibebaskan serta membuat peta pembebasan. Disamping itu, mereka mendesak Gubernur Malut untuk segera membuat dan menetapkan RTRW Provinsi Malut, Mendesak DPRD malut untuk memanggil oknum pejabat yang sengaja melakukan penyelewengan dalam urusan pembebasan lahan dan Mendesak aparat penegak hukum segera menuntaskan kasus korupsi anggaran pembebasan lahan di Sofifi.
Terkait dengan persoalan itu, Anggota Pansus aset DPRD Malut, Yusman Arifin mengatakan anggaran yang selama ini dialokasikan untuk pembebasan lahan harus diaudit. Jika dilihat dari fakta lapangan sangat berbeda dengan realisasi anggaran dalam PAGU yang ditetapkan setiap tahun. Disamping itu menurut dia, yang terpenting saat ini adalah persoalan sertifikat lahan yang hingga saat ini belum juga dikantongi datanya oleh pansus.
“ Artinya lahan yang sudah dibebaskan itu berapa yang sudah disertifikat. Sampai saat ini pansus belum mengantongi kepemilikan lahan, padahal kita sudah meminta berulang-ulang,” katanya.
Diungkapkannya, anggaran untuk pembebasan lahan yang dialokasikan oleh Pemprov Malut adalah senilai Rp. 114.166.319.750. Karena itu anggaran yang dikucurkan tersebut menurut dia penting untuk dilakukan pengauditan dengan cara meningkatkan penelusuran lebih lanjut oleh pansus.
“Tapi yang jelas sudah ratusan milyar yang dianggarkan untuk pembebasan lahan . kalau kita bandingkan dengan lahan saat ini belum berimbang, tapi perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut. Apakah sesuai atau tidak. Kan begini ada nilai NJOP yang ditetapkan itu yang menjadi patokan. Misalnya lahan 100 Ha, itu dibayar berapa. Itu harus ditelusuri. Nilai NJOP, berdasarkan keterangan bagian pemerintahan sesuai dengan hasil kesepakatan rapat eksekutif dengan masyarakat, yang belum punya sertifikat Rp. 35 ribu dan yang sudah Rp. 45 Ribu,” akunya.(amy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar