AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

Sabtu, 18 Juni 2011

Ajak Rekanan Somasi Pemprov PU Sebut Tanggung Jawab Keuangan


Pembangunan Sofifi yang tidak beres sejak 11 tahun lalu

SOFIFI- Tertunggaknya sejumlah pembayaran pekerjaan proyek oleh pemerintah provinsi Maluku Utara kepada rekanan kembali membuat anggota DPRD Malut bereaksi. Rekanan diminta melayangkan Somasi kepada Pemprov Malut untuk mendapatkan haknya. Dinas PU dan Kimpraswil tidak mau ambil resiko, persoalan pembayaran pekerjaan adalah tanggungjawab Biro Keuangan Setdaprov Malut.

Anggota Komisi III DPRD Malut, Syachril Marasaoly kepada Radar Halmahera mengatakan, hingga saat ini, Pemprov masih menunggak hutang milyaran rupiah kepada pihak ketiga. Anehnya lagi menurut dia, dalam pembahasan anggaran tahun lalu, pemprov melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) terkesan menyembunyikan persoalan itu.

“ akhirnya apa, hutang tersebut tidak masuk dalam pembiayaan APBD tahun 2011 ini,” katanya.

Hutang Pemprov kepada pihak ketiga itu sendiri menurut dia, berkisar pada angka Rp.23 Milyar. Karena itu, Politisi Partai Bulan Bintang (PBB) Malut ini menyarankan kepada rekanan yang merasa dirugikan oleh Pemprov Malut untuk menempuh jalur hukum dengan cara melayangkan somasi agar pemprov Malut dapat memperhatikan dan melusai hak mereka.

“ Karena itu pihak ketiga yang dirugikan sebenarnya dapat melayangkan Somasi ke Pemprov. Kalau tidak salah hutang itu berkisar 23 Milyar,” ungkapnya.

Sementara terkait dengan persoalan hutang ini, Kepala Dinas PU dan Kimpraswil Malut, Suyono Prodjodimulyo mengatakan, pihaknya tidak bertanggungjawab terkait dengan persoalan hutang, persoalan tersebut menurut dia menjadi kewenangan biro keuangan Setdaprov Malut.

“ Kalau soal hutang itu prosesnya di keuangan, soal dia belum bayar ya tanggungjawab dia,” ujarnya.

Sebelumnya, terkait dengan persoalan hutang ini, Dinas PU dan Kimpraswil sempat menjadi bulan-bulanan anggota DPRD Malut. Bahkan, Gubernur Malut, Thaib Armayn didesak untuk menggantikan kepala dinas PU karena dinilai tidak mampudalam menjalankan kinerjanya. Terkait dengan persoalan itu, Suyono yang ditemui juga menjelaskan jika pihaknya hanya menangani persoalan tekhnis. Setelah proses pengerjaan selesai, pihaknya kemudian memproses laporan kepada pimpinan dan meminta dilakukan pembayaran terhadap pekerjaan tersebut.

“ Kalau kita inikan apa yang sudah dikerjakan dan telah selesai, maka kita akan memproses dan melaporkan. Kalau memang harus dibayar ya kita usulkan untuk dibayar. Soal tidak bayar atau apa alasannya, mungkin tidak ada anggaran atau apa, itu tanggungjawab mereka,” jelasnya.

Ditambahkannya, dirinya dalam bekerja tidak pernah melakukan penahanan pembayaran. Sementara untuk pekerjaan MY dan reguler lainnya yang terkesan tersendat-sendat pada tahun 2011 ini, Suyono mengatakan, jika saja Biro Keuangan tidak melakukan penahanan, semua pekerjaan sudah dapat dipastikan selesai.

“ Tapi hal inikan tidak seperti membalik tangan,” imbuhnya.

Sekedar diketahui, terkait dengan persoalan hutang kepada pihak ketiga ini, Ketua Komisi IV DPRD Malut, Amin Drakel beberapa bulan lalu mengatakan, masih terdapat hutang sekitar Rp. 6 Miliar kepada kontraktor pelaksana. Dimana hutang tersebut berasal dari proyek lanjutan Kantor Gubernur, Proyek Bundaran depan Gedung DPRD malut dan proyek timbunan di halaman samping kiri dan kanan Kantor DPRD Malut.

Terkait persoalan hutang ini sebelumnya juga laporan Panitia Khusus (Pansus) APBD DPRD Malut. Dalam laporan tersebut disebutkan, telah terjadi penggelembungan nilai hutang kepada pihak ketiga pada tahun 2009 sebesar Rp. 10.599.362.336.

Fakta yang terungkap dalam rapat kerja pansus disebutkan total nilai hutang adalam sebesar Rp. 62.906.725.946. nilai ini didasarkan pada selisih hasil perhitungan antara nilai pekerjaan fisik yang telah terealisasi sebesar Rp. 214.169.841.754 dengan realisasi pembayaran sebesar Rp. 151.263.115.808. anehnya, dalam neraca per 31 Desember 2009, Pemprov Malut mengakui adanya hutang kepada pihak ketiga sebesar Rp.73.506.088.282 berdasarkan atas selisih antara nilai yang dikontrakkan sebesar Rp. 224.769.204.090 dengan nilai realisasi pembayaran.

Penetapan nominal hutang ini ternyata pemerintah tidak memperhitungkan secara cermat realisasi fisik pekerjaan, dimana mengesampingkan pelaksanaan pekerjaan yang belum mencapai 100 persen. Ini tentunya, menyebabkan terjadi penggelembungan nilai hutang sebesar Rp. 10.599.362.336. (amy)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar