SOFIFI- Proyek pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur pendukung pemerintahan di Sofifi seperti jalan 40 ternyata tidak untuk masyarakat. Proyek itu hanya melahirkan luka bagi para pemilik lahan, seperti yang dialami 19 Kepala Keluarga (KK) di Desa Galala Kecamatan Oba Utara saat ini. saat nmeninggalkan kampung (Galala) karena konflik horisontal, lahan mereka digusur tanpa koordinasi. Bayaranpun tidak sebanding dengan luas lahan yang dimiliki.
Kepada Radar Halmahera saat bertandang ke rumahnya, minggu malam kemarin, John Totoda, Mantan Kepala Dusun Galala menjelaskan kronologis penggusuran lahan milik 19 Kepala Keluarga (KK) tersebut. Dikatakannya, penggusuran itu bermula saat mereka berada di lokasi pengungsian, Manado, Sulawesi Tenggah saat konflik horisontal sebelas tahun silam.
“ Penggusuran itu dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah (saat masih pemerintahan masih di Tidore),” katanya.
Dijelaskannya, Pemkab Halteng mengutus seorang bernama Habibu (Alm.Habibu), yang juga adalah Anggota DPRD Halteng waktu itu untuk bertemu dengan para pemilik lahan di lokasi pengungsian. Dalam pertemuan tersebut, Habibu tidak membicarakan soal ganti rugi lahan melainkan sekedar membawa kabar bahwa lahan mereka (19 KK) di Galala sudah digusur oleh pemerintah untuk pembangunan jalan (saat ini jalan 40).
“Jadi dong (Habibu) kasana Cuma kase tau pa katorang bahwa tanah saudara-saudara sudah tergusur. Saat dengar kabar itu kitorang tidak bisa berbuat apa-apa. Mo bicara apa, tanah so dapa gusur no,” jelasnya.
Selain mengabari kondisi tanah tersebut, Habibu menurut John juga memberitahu perihal anggaran untuk pembayaran tanah. Saat itu dengan sedikit mengancam, Habibu kepada mereka mengatakan, jika anggaran sudah disediakan, jika warga pemilik lahan tidak mau menerima bayaran tersebut maka dengan sendirinya pemerintah tidak lagi melakukan pembayaran.
“ Dia (Habibu) juga bilang kalau anggarannya sudah ada, jadi kalau saudara-saudara tidak ambil berarti dianggap hangus, torang Cuma badiang saja dan kase biar dia tetap bicara. Tong mo bicara apa, sementara tanah ngoni so gusur,” imbuhnya
Meski sudah menyampaikan tentang ketersediaan anggaran, pada pertemuan itu Habibu belum lantas memberikan uang tersebut. Lalu pada pertemuan kedua, Pemkab Halteng mengutus salah satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Dinas Perkebunan berinisial Wan, datang membawa uang yang sudah dimasukan dalam amplop. Uang tersebut dibagikan kepada para pemilik lahan tanpa memberitahu tanah mereka dibayar berapa permeternya.
“ Yang datang kedua kali itu pegawai perkebunan, namanya Wan. Dia kasana bawa doi yang so memang isi di amplop, semua sudah diisi. Jadi samua yang dapa gusur dong so isi memang, tara kase tau satu meter berapa. Dong bilang, ini ngoni pe harga tanah,” ujarnya.
Diungkapkannya, lahan miliknya yang sudah digusur oleh Pemkab Halteng adalah seluas 585 Meter lebih, yang didalamnya terdapat dua kaplingan rumah. Hal yang sama saja juga berlaku pada 18 KK lainnya. Lokasi lahan mereka itu, saat ini telah ‘ditumbuhi’ jalan 40, perumahan Ketua DPRD Malut dan Perumahan Wakil Gubernur. Untuk mendapatkan keadilan, John mengaku setelah kembali dari tempat pengungsian, dirinya mencoba untuk bertemu dengan Habibu. Namun Habibu terkesan menghindar, karena tidak kunjung ketemu, dirinya bertekad mencari Habibu sampai ke Weda.
“ Karena tidak pernah ketemu dengan Habibu, masalah itu katorang bawa sampai di pengadilan. Dan sudah berapa kali sidang, tapi akhirnya sidang dihentikan karena Habibu meninggal,” ungkapnya.
Saat persidangan sudah tidak bisa digelar karena orang yang dituntut telah berpulang, John mengaku saat itu ada keputusan bersama yang dibuat di pengadilan. Dimana, oleh pengadilan, lahan yang sudah diaspal, diikhlaskan kepada pemerintah dan lahan yang berada pada sisi kiri dan kanan milik warga dikembalikan haknya kepada warga, keputusan itu disepakati oleh warga.
Sayangnya, setelah ada keputusan tersebut, Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui proyek Multi Years (MY) kembali melakukan penggusuran dengan alasan lahan tersebut sudah dibebaskan.
“ Karena masalah itu katorang surati Gubernur, tapi sampe sekarang belum ketemu. Saya hanya ketemu dengan orang di Biro Pemerintahan, dan sempat terjadi adu mulut karena mereka mengatakan, tanah tersebut sudah dibayar. Saya bilang betul tanah itu sudah dibayar, tapi pembayarannya seperti bukti yang kita lampirkan. Kalau yang sudah aspal, torang rela, tapi yang sisi kiri kanan itu harus dibayar, karena ada putusan pengadilan,” katanya.
Meski telah mendapatkan penjelasan itu, Pemprov tetap melakukan penggusuran. Namun, aktifitas itu terhenti karena diprotes oleh 19 KK pemilik lahan. Sebelumnnya Biro Pemerintahan Setdaprov Malut kepadanya menjelaskan bahwa, harga tanah permeter saat itu adalah Rp. 1250. Namun apapun itu menurut mereka, tidak bisa dilakukan selama penggusuran dilakukan tanpa ada perundingan dengan warga pemilik lahan.
“ Kalau awalnya bicara maka bisa jadi ada kesepakatan, tapi penggusuran itu dilakukan tanpa prundingan, karena itu dalam laporan ke gubernur itu torang anggap tidak resmi penggusuran yang lalu karena itu tanpa perundingan dengan torang. Ini penyerobotan lahan, hak kami dirampas. Padahal Bupati Halteng saat itu juga sudah punya pengakuan kalau lahan ini dikembalikan ke warga,” tandasnya. (amy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar